Pemerintah Siapkan Regulasi Teknis untuk Aplikator Transportasi Daring
Berita

Pemerintah Siapkan Regulasi Teknis untuk Aplikator Transportasi Daring

Bakal diatur dalam Peraturan Dirjen Perhubungan Darat.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
beberapa driver ojek sedang menunggu penumpang. Foto: MYS
beberapa driver ojek sedang menunggu penumpang. Foto: MYS

Pemerintah tengah mempersiapkan regulasi yang lebih bersifat teknis mengenai transportasi daring (ojek online). Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, menerangkan, regulasi ini merespons banyak keluhan dan persoalan yang disampaikan baik oleh pengemudi maupun penumpang.

 

Transportasi daring telah menimbulkan konflik di sejumlah daerah antara pengelola transporasi konvensional dan pengelola transportasi daring. Hubungan kerja antara pengemudi ojek daring dengan aplikator, misalnya, dianggap belum jelas sehingga perlindungan hukum pengojek kurang. Itu sebabnya Pemerintah ingin mengatur hal-hal yang lebih detil.

 

Kementerian Perhubungan sudah mencatat keluhan dari masing-masing pihak. Dari sisi pengemudi, misalnya, mengeluhkan tarif batas bawah, suspend akun sepihak, order diprioritaskan kepada pengemudi tertentu, atau adanya diksriminasi, perusahaan aplikasi tidak diatur pemerintah, pengemudi tidak memiliki nilai tawar dalam kemitraan semu, hingga tindakan kriminal dari penumpang. Dari sisi penumpang, keluhan yang diterima berupa identitas pengemudi dengan akun yang digunakan berbeda, satu pengemudi punya beberapa akun, dan sikap tak layak pengemudi.

 

(Baca juga: 6 Fakta Survei Prakarsa tentang Pengemudi Ojek Online)

 

Dirjen Budi Setiyadi mengungkapkan regulasi terbaru akan dituangkan dalam Peraturan Direktorat Jenderal. Sebelumnya Pemerintah sempat mengutarakan keinginan mengubah Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Menggunakan Kendaraan Bermotor Tidak dalam Trayek. Tetapi kemudian berubah pikiran. PM 108 tak akan diubah. Permenhub 108 adalah regulasi pengganti setelah Permenhub  No. 26 Tahun 2017 dinyatakan batal oleh Mahkamah Agung.

 

“Bentuknya Peraturan Dirjen, bukan turunan dari PM  tetapi melengkapi PM 108. Karena PM itu memang belum detail, banyak hal yang belum diatur dalam PM dan tidak mungkin PM itu direvisi lagi karena sudah tiga kali revisi. Yang sekarang ini akan menyentuh aplikatornya seperti bagaimana menerima kemitraan, termasuk mengekomodasi beberapa aturan ojek online, misalnya mengenai tarif dan lain sebagainya,” kata Budi di Jakarta, Rabu (30/5).

 

Diakui Budi, aplikator atau penyedia aplikasi memang belum diatur dalam PM 108. Pengaturan aplikator seharusnya diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun sayangnya sejauh ini Kominfo hanya mengatur mekanisme pendaftaran, sedangkan PM 10 baru mengatur badan hukum dan kemitraan.

 

(Baca juga: Pemerintah Kaji Aturan Ketenagakerjaan Transportasi Daring)

 

Belum lagi, tidak ada daya tawar yang seimbang antara aplikator dan pengemudi ojek daring. Aplikator kerap memberikan suspend kepada driver tanpa memberikan hak untuk mempertanyakan alasan suspend, serta menyoal isi kontrak kemitraan yang dinilai tidak seimbang. Bahkan, tak ada sanksi bagi aplikator jika melakukan pelanggaran dalam isi kontrak.

 

Dari keluhan dan masukan para pemangku kepentingan, kata Budi,  ada lima masalah yang terdeteksi dan harus diatur secepat mungkin. Pertama, aplikator sebagai perusahaan transportasi. Sejauh ini, aplikator merupakan milik asing dan badan hukum kurang diminati oleh pengemudi ojek daring. Untuk hal ini, usulan solusinya adalah dengan menjadikan aplikator menjadi bentuk anak perusahaan dan profit sharing dengan badan hukum lebih kecil dibanding langsung dengan pengemudi ojek daring.

 

Kedua, penetapan kuota. Kondisi di lapangan saat ini, pengemudi ojek daring sudah jauh melebihi kuota sehingga mengabaikan prinsip supply dan demand. Melihat kondisi tersebut maka usul solusi adalah dengan menetapkan kuota berdasarkan jumlah armada aktif dalam jaringan dan akses aplikasi bebas diberikan bagi kendaraan yang sudah memiliki izin.

 

Ketiga, mengenai tarif. Sejauh ini, aplikator kerap memberikan promosi tarif yang berada di bawah batas bawah. Pemerintah mengusulkan aplikator untuk menetapkan tarif minimal sesuai dengan batas bawah. “Jadi ada program promo, jadinya seperti gimmick. Seharusnya aplikator menerapkan satu tarif saja, jangan ada program lain. Itu jadinya seperti gimmick,” jelas Budi.

 

Keempat, persoalan audit. Selama ini pemerintah memiliki keterbatasan akses yang diberikan oleh aplikator. Usulannya adalah data pada digital dashboard harus lengkap dan audit dilaksanakan oleh tim independen.

 

Kelima, pemberlakuan suspend. Ketika aplikator melakukan suspend terhadap pengemudi ojek daring, maka pengemudi ojek daring tidak diberikan ruang klarifikasi. Usulan dari pemerintah terkait hal ini adalah reaktifasi akun yang di-suspend dan pengaturan mekanisme suspend secara transparan.

 

Budi mengungkapkan, pemerintah telah menyiapkan rancangan Peraturan Dirjen yang isinya mencakup empat hal yakni tata cara perusahaan aplikasi menjadi perusahaan angkutan sewa khusus, tarif angkutan sewa khusus, monitoring dan pengawasan, serta perlindungan masyarakat baik konsumen maupun pengemudi ojek daring.

 

“Lima masalah itu sudah dalam aturan yang sedang diproses, belum pasti dan masih bisa berubah. Pembahasan tinggal satu putaran lagi, jika nanti sudah diuji publik berarti tidak ada masalah, semoga setelah lebaran aturannya terbit,” ungkapnya.

 

(Baca juga: Perlindungan Hukum Bagi Driver Ojek Online)

 

Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO), Christiansen Ferary Wilmar menilai regulasi angkutan sewa khusus yang saat ini tengah digarap oleh pemerintah bukanlah solusi bagi masalah yang dihadapi oleh pengemudi ojek daring, terutama ojek online di lapangan. Christiansen mengutarakan dua solusi bagi permasalahan yang dihadapi ojek online, pertama solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang.

 

Solusi jangka pendek, pemerintah diminta membuat surat keputusan bersama antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Kominfo dan Kementerian Tenaga Kerja untuk menyikapi persoalan ojek online yang ada di lapangan. Kemudian menetapkan posisi yang tepat di dalam regulasi yakni perusahaan aplikasi sebagai penyedia aplikasi, pengemudi ojek daring sebagai pelaku usaha (bukan karyawan), dan kendaraan mayoritas milik pribadi dan tidak 24 jam beroperasional. Solusi jangka panjang adalah merevisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan ANgkutan Jalan (LLAJ) atau membuat UU Transportasi Online.

 

“Pemerintah harus responsive melihat prekembangan yang ada dan membuat regulasi yang komprehensif agar permasalahan transportasi online dapar segera teratasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait