Pemerintah Sediakan 53 Miliar untuk Bantuan Hukum Masyarakat Marginal 2019-2021
Berita

Pemerintah Sediakan 53 Miliar untuk Bantuan Hukum Masyarakat Marginal 2019-2021

Ada peningkatan jumlah organisasi bantuan hukum yang didanai.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Konpres BPHN tentang hasil verifikasi dan akreditasi organisasi bantuan hukum di Indonesia tahun 2019, Foto: NEE
Konpres BPHN tentang hasil verifikasi dan akreditasi organisasi bantuan hukum di Indonesia tahun 2019, Foto: NEE

Anggaran pemerintah untuk program bantuan hukum masyarakat marginal meningkat dari 48 miliar menjadi 53 miliar untuk periode 2019-2021. Kenaikan anggaran itu disampaikan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) bersama pengumuman 524 organisasi bantuan hukum (OBH) yang lolos verifikasi dan akreditasi untuk periode yang sama, Jumat (4/12) di Kementerian Hukum dan HAM.

“Alhamdulillah ada peningkatan dari 48 miliar menjadi 53 miliar, sementara itu jumlah OBH yang lolos akreditasi bertambah sekira 25 persen,” kata Kepala BPHN, Benny Riyanto, di hadapan awak media dalam konferensi pers.

Jika dibandingkan dari jumlah OBH yang didanai Pemerintah pada periode pendanaan 2016-2018, ada kenaikan jumlah dari 405 OBH menjadi 524 OBH untuk periode mendatang. Ada tambahan sebanyak 119 OBH di dalam daftar Pemerintah atau sekira 29 persen dari jumlah OBH di periode 2016-2018.

Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN, Djoko Pudjirahardjo mengakui anggaran yang disediakan masih terbatas dibandingkan dengan kebutuhan nyata di lapangan. “Jumlah anggaran dari pemerintah pusat terbatas, makanya kami mendorong pemerintah daerah juga ikut mengalokasikan dana,” katanya saat diwawancarai hukumonline.

Berdasarkan UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum), pendanaan bantuan hukum dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, pemerintah daerah dapat mengalokasikan pula anggaran penyelenggaraan bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Bisa dikatakan bahwa upaya memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat marginal di seluruh Indonesia masih dibebankan pada anggaran dari pemerintah pusat.

(Baca juga: Yasonna H Laoly: Pro Bono Advokat Ikut Membangun Bangsa dan Investasi Surga).

Perlu diingat, bantuan hukum adalah jasa hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat marginal dengan pendanaan dari negara. Ada syarat dan kriteria khusus yang diatur dalam UU Bantuan Hukum mengenai pelaksananaannya. Meskipun juga dilakukan oleh advokat, layanan bantuan hukum berdasarkan UU Bantuan Hukum berbeda dengan kewajiban pro bono bagi profesi advokat.

Tak Semua Dapat Disebut Pro Bono

OBH yang lolos verifikasi dan akreditasi oleh BPHN berhak mendapat pendanaan dari pemerintah sebagai pemberi bantuan hukum. Meskipun begitu, semua lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan bantuan hukum tetap bisa beroperasi. Bedanya, mereka yang tidak masuk daftar verifikasi dan akreditasi tersebut tidak berhak mendapatkan pendanaan dari negara.

Verifikasi dan akreditasi dilakukan setiap tiga tahun untuk menilai serta menetapkan kelayakan calon pemberi bantuan hukum berdasarkan standar pemerintah. Penilaian ini meliputi bentuk lembaga yang harus badan hukum, jumlah personel, dan portofolio dalam keaktifan memberikan bantuan hukum.

Panitia verifikasi dan akreditasi OBH periode 2019-2021 dilakukan oleh tujuh orang berdasarkan syarat UU Bantuan Hukum yang dibantu kelompok kerja BPHN. Mereka adalah Yosep Adi Prasetyo (tokoh masyarakat, Ketua Dewan Pers), Kartini Istikomah (akademisi, pernah bekerja di Ombudsman, Taswem Tarib (akademisi, pernah menjabat Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi DKI Jakarta), Choky Risda Ramadhan (akademisi, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia), Asfinawati (advokat publik, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), serta perwakilan BPHN masing-masing Kepala BPHN dan Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN.

Dasar hukum pemberian bantuan hukum antara lain oleh UU Bantuan Hukum dan PP No.42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada menerima Bantuan Hukum.

2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

3. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.

4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Pasal 6

(2) Pemberian Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.

PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum

Pasal 4

Pemberian Bantuan Hukum dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum, yang harus memenuhi syarat:

a. berbadan hukum;

b. terakreditasi;

c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

d. memiliki pengurus; dan

e. memiliki program Bantuan Hukum

Pasal 13

(1) Pemberian Bantuan Hukum secara Litigasi dilakukan oleh Advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan Hukum dan/atau Advokat yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum.

Pasal 14

Pemberian Bantuan Hukum oleh Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tidak menghapuskan kewajiban Advokat tersebut untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kantor Hukum Profesional Boleh Terlibat

Djoko menjelaskan kepada Hukumonline, pada dasarnya kantor hukum yang menjalankan jasa hukum profesional juga boleh mengajukan diri sebagai pemberi bantuan hukum berdasarkan kriteria UU Bantuan Hukum.  Jika memenuhi kriteria, kantor hukum tersebut berhak didanai untuk program bantuan hukum berdasarkan UU Bantuan Hukum. “Silakan, yang penting administrasinya terpisah. Yang penting laporan reimburse hanya sesuai kriteria penerima bantuan hukum berdasarkan UU Bantuan Hukum,” katanya.

(Baca juga: Semarak Meriahnya Hukumonline Pro Bono Award 2018).

Berdasarkan keterangan Djoko, kantor hukum bisa saja menjalankan praktik jasa profesional sekaligus sebagai pemberi bantuan hukum. Di samping itu tiap advokat tetap memiliki kewajiban pro bono. Djoko menegaskan bahwa pendanaan hanya untuk program bantuan hukum. Di luar itu, praktik jasa profesional dan pelaksanaan kewajiban pro bono tidak boleh menggunakan pendanaan bantuan hukum yang berasal dari anggaran negara.

Tags:

Berita Terkait