Pemerintah Perlu Tingkatkan Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Utama

Pemerintah Perlu Tingkatkan Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Berkaca dari Kasus Torres Strait Islanders, IOJI dan ICEL memandang Indonesia perlu mengakselerasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya di pulau-pulau berdataran rendah yang rentan akan dampak perubahan iklim.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

PBB telah menerbitkan resolusi pengakuan terhadap hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai hak asasi manusia (HAM) universal. Dengan didukung oleh 161 negara, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi tersebut pada Kamis (28/7/2022) lalu. Untuk itu, United Nations General Assembly (UNGA) menyerukan terhadap seluruh negara, organisasi internasional, bisnis, maupun stakeholders lain supaya meningkatkan upaya dalam memastikan lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.

“Dua bulan setelahnya, tepatnya tanggal 22 September 2022, dalam kasus Torres Strait Islanders, Human Rights Committee (akhirnya) menyatakan Pemerintah Australia melanggar HAM masyarakat Torres Strait Islands dikarenakan upaya adaptasi perubahan iklim Pemerintah Australia yang tidak memadai dan tepat waktu,” ujar Co-Founder sekaligus Director International Engagement and Policy Reform di Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Stephanie Rizka Juwana, dalam rilis pernyataan bersama IOJI-ICEL yang diterima Hukumonline, Rabu (5/10/2022).

Baca Juga:

Sekelompok masyarakat adat minoritas di Torres Straits Islands mengadukan Australia atas upaya mitigasi serta adaptasi perubahan iklim yang tidak memadai, sehingga melanggar hak sipil politik yang dimiliki. Adapun hak yang dimaksud antara lain sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ICCPR, Pasal 6 ICCPR (hak untuk hidup), Pasal 17 ICCPR (hak atas privasi, keluarga, dan tempat tinggal), Pasal 24 ICCPR (hak anak), dan Pasal 27 ICCPR (hak atas budaya minoritas). Pengaduan tersebut diterima oleh Human Rights Committee sejak tahun 2020 silam.

Human Rights Committee menyatakan pengaduan ini dapat diterima (admissible) sesuai dengan fungsi Human Rights Committee dan kemudian menyatakan Pemerintah Australia terbukti melanggar Pasal 17 dan 27 ICCPR. Terdapat 4 keunikan dari Keputusan Human Rights Committee dalam kasus Torres Strait Islanders,” kata dia.

Pertama, kasus tersebut merupakan pertama kalinya climate-vulnerable inhabitants dari pulau berdataran rendah ajukan tuntutan hukum terhadap negara perihal perubahan iklim. Kedua, Badan Traktat HAM PBB (UN human rights treaty bodies) untuk pertama kalinya pula menyatakan negara melanggar HAM sebab upaya adaptasi perubahan iklim yang tidak memadai.

Ketiga, emisi gas rumah kaca yang diproduksi negara menjadi tanggung jawab negara. Keempat, perlindungan hak masyarakat adat atas budaya yang terancam oleh dampak perubahan iklim wajib dilindungi negara dengan mengambil langkah-langkah positif (positive measures).

Keempat poin tersebut juga diamini oleh Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). “Kasus Torres Strait Islanders perlu dicermati oleh pemerintah di seluruh dunia, terutama Indonesia sebagai negara dengan jumlah climate vulnerable inhabitants yang tinggi. Sebagai negara penghasil emisi GRK (gas rumah kaca) terbesar ke-7 di dunia, Indonesia perlu mengakselerasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya di pulau-pulau berdataran rendah yang rentan akan dampak perubahan iklim,” tegas Stephanie.

Diantaranya melalui implementasi Nature based Solutions (NbS) yang lebih spesifik lagi ialah ekosistem karbon biru patut mendapat perhatian serius pemerintah. Apalagi, Indonesia memuat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam konstitusi. Di samping itu, Stephanie merujuk pada sejumlah putusan pengadilan yang mengakui kerusakan lingkungan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sebut saja diantaranya Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smdn (Perkara Samarinda Menggugat) dan Putusan No.374/Pdt.G/LH/2019/PN.JKT.PST (CLS Polusi Udara Jakarta). Akan tetapi, ia menyayangkan kausalitas dampak perubahan iklim dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat belum pernah disimpulkan dalam putusan pengadilan.

“Pemerintah perlu meningkatkan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berdasarkan kajian komprehensif tentang dampak perubahan iklim yang melibatkan masyarakat terdampak (genuine participation) dengan metode yang teruji secara ilmiah. Langkah ini perlu dikomunikasikan secara berkala dengan transparan dan akuntabel,” sambung Grita Anindarini Widyaningsih selaku Program Director ICEL.

IOJI dan ICEL memandang untuk melaksanakan mandat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, maka Pemerintah Indonesia perlu menetapkan ekosistem karbon biru dan hutan sebagai critical natural capital yang tidak bisa dipindahkan (irreplaceable) dan tidak bisa digantikan (non-substitutable). Dengan maksud untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Tentunya perlu sejalan dengan pembentukan serta pelaksanaan instrumen dan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang kokoh.

Selain itu, sebagai langkah aksi yang berkaca dari kasus Torres Straits Islanders, jajaran hakim perlu mengakomodir dampak perubahan iklim secara ilmiah dalam pertimbangan hukumnya. Kemudian juga menarik garis hubungan kausalitas antara HAM dan perubahan iklim dalam putusannya. “Untuk itu, diharapkan hakim merujuk dan mereferensikan pada dokumen hukum relevan, salah satunya kasus Torres Straits Islanders,” tutur Grita.

Lebih lanjut, IOJI-ICEL menilai diskursus serta penelitian seputar dampak perubahan iklim perlu diutamakan bagi kalangan akademisi atau komunitas ilmiah. Sedangkan bagi LSM beserta masyarakat sipil pada umumnya, diharapkan dapat mengawal komitmen dan target perubahan iklim Indonesia.

“Bersama-sama (LSM dan masyarakat sipil juga dapat) memberikan pemahaman tentang hak-hak dasar kepada masyarakat terdampak dan melakukan upaya pendampingan kepada masyarakat terdampak yang sedang membela hak-haknya dari potensi pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang sehat,” katanya.

Tags:

Berita Terkait