Pemerintah Naikkan Tarif PPh 22 untuk Kendalikan Defisit Neraca Transaksi Berjalan
Berita

Pemerintah Naikkan Tarif PPh 22 untuk Kendalikan Defisit Neraca Transaksi Berjalan

Pemerintah sedikit terlambat mengambil langkah antisipasi.

Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Defisit neraca transaksi berjalan Indonesia mencapai AS$13,5 miliar atau 2,6 persen terhadap PDB pada semester I tahun 2018. Salah satu penyebab defisit transaksi berjalan adalah pertumbuhan impor sebesar 24,5 persen year to date Juli 2018. Angka impor ini jauh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekspor yang hanya 11,4 persen year to date Juli 2018.

 

Kondisi perekonomian Indonesia saat ini tentu dipengaruhi dari sektor eksternal yakni perekenomian global. Dinamika perekonomian global memberikan dinamika yang tinggi terhadap neraca transaksi berjalan (current account) dan mata uang banyak negara, termasuk Indonesia. Maka untuk itu, pemerintah menjalankan sejumlah bauran kebijakan.

 

Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah melakukan tinjauan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap barang konsumsi impor guna mendorong penggunaan produk domestik.

 

Beberapa regulasi penting yang ditinjau pemerintah adalah PMK No.132/PMK.010/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor, PMK No.6/PK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor, dan PMK No.34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.

 

Hasil tinjauan tersebut menyimpulkan bahwa pemerintah melalukan penyesuaian tarif PPh Pasal 22 terhadap 1.147 pos tarif dengan tiga bagian yakni, pertama, 210 item komoditas yang tarif PPh 22 naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Termasuk ke dalam kategori ini adalah barang mewah seperti mobil CBU, dan motor besar.

 

Kedua, sebanyak 218 item komoditas yang tarif PPh 22 naik dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Termasuk ke dalam kategori ini adalah seluruh barang konsumsi yang sebagian besar telah dapat diproduksi di dalam negeri seperti barang elektronik (dispenser air, pendingin ruangan, lampu), keperluan sehari-hari seperti sabun, sampo, kosmetik, serta peralatan masak atau dapur.

 

Ketiga, sebanyak 719 item komoditas yang tarif PPh 22 naik dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. Termasuk dalam kategori ini seluruh barang yang digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan lainnya. contohnya bahan bangunan (keramik), ban, peralatan elektronik audio-visual (kabel, box speaker, produk tekstil (overcoat, polo shirt, swim wear).

 

Baca:

 

Dalam press rilis yang diterima oleh hukumonline, Kamis (7/9), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa kebijakan untuk melakukan pengendalian impor melalui kebijakan Pajak Penghasilan bujan merupakan kebijakan yang baru pertama kali dilakukan pemerintah.

 

Pemerintah pernah melakukan kebijakan yang serupa di tahun 2013 dan tahun 2015. Pada tahun 2013, pemerintah menerbitkan PMK No.175/PMK.011/2013 juga dalam rangka mengendalikan impor setelah Taper Tantrum. Saat itu pemerintah menaikkan tarif PPh 22 atas 502 item komoditas konsumsi dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen.

 

Lalu pada tahun 2015, pemerintah melanjutkan kebijakan ini dengan menerbitkan PMK No.107/PMK.010/2015. Melalui PMK tersebut pemerintah menaikkan tarif PPh Pasal 22 atas 240 item komoditas konsumsi dari 7,5 persen menjadi 10 persen atas barang konsumsi tertentu yang dihapuskan Pajak Penjualan atas Bawang Mewah (PPnBM) nya.

 

Pembayaran PPh Pasal 22 merupakan pembayaran Pajak Penghasilan di muka yang dapat dikreditkan sebagai bagian dari pembayaran PPh terutang di akhir tahun pajak. Oleh karena itu, lanjut Sri Mulyani, kenaikan tariff PPh 22 pada prisnipinya tidak akan memberatkan industri manufaktur.

 

Dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah dalam memitigasi dampak volatilitas ekonomi global, Kemenkeu juga akan terus melakukan simplifikasi administrasi perpajakan dan kepabeanan. Sinergi DJP dan DJBC akan terus diarahkan untuk meningkatkan pelayanan dan tingkat kepatuhan yang mendukung pertumbuhan industri dalam negeri. Salah satunya melalui percepatan pelayanan restitusi, khususnya untuk pelaku usaha yang memiliki reputasi yang baik.

 

Selain dari sisi kebijakan pajak, pemerintah juga melakukan tinjauan terhadap proyek-proyek infrastruktur pemerintah khususnya proyek strategi nasional, serta implementasi penggunaan Biodiesel untuk mengurangi impor bahan bakar solar.

 

Sementara itu, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menilai, langkah yang diambil pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPh 22 beberapa komoditas sudah tepat. Apalagi, barang-barang yang mengalami kenaikan tarif PPh 22 adalah barang konsumsi impor yang berdampak pada defisit neraca transaksi berjalan.

 

“Yang terpenting pemerintah ada action dalam merespon kondisi perekonomian Indonesia. Dan ini sebagai momen untuk memberikan kesempatan kepada industri dalam negeri,” kata Yustinus kepada hukumonline, Jumat (7/9).

 

Namun begitu, Yustinus berpendapat langkah yang diambil oleh pemerintah sedikit terlambat. Seharusnya pemerintah bisa mengambil langkah antisipasi sebelum berdampak kepada defisit neraca transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar rupiah.

Tags:

Berita Terkait