Pemerintah Masih Takut Meratifikasi Statuta Roma
Berita

Pemerintah Masih Takut Meratifikasi Statuta Roma

Ada kekhawatiran pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu akan diseret ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

ADY
Bacaan 2 Menit

Pada kesempatan yang sama, anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah, mengatakan Komnas HAM bersikap mendukung ratifikasi Statuta Roma. Perempuan yang disapa Roi itu mengatakan ketika pemerintah sudah menuangkan agenda ratifikasi Statuta Roma dalam Ran-HAM, maka hal tersebut dapat dilihat sebagai bentuk komitmen terhadap konstitusi. Pasalnya, Roi melihat konstitusi mempunya dua dimensi yaitu nasional dan internasional. Untuk internasional, konstitusi mengamanatkan agar pemerintah bersama masyarakat internasional aktif menjaga ketertiban dunia berdasarkan keadilan sosial.

Roi mengatakan Komnas HAM melihat Statuta Roma lebih dari instrumen hukum pidana internasional semata, tapi berperan strategis untuk mewujudkan pemenuhan HAM. Namun, sebagaimana Indri, Roi menegaskan bahwa ketentuan yang ada dalam Statuta Roma tidak berlaku surut. Pasalnya, Statuta Roma lebih berorientasi untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat di masa depan. Selaras dengan itu Roi berpendapat ketika Statuta Roma diratifikasi, akan memperbaiki dan memperkuat sistem hukum dan HAM nasional.

Misalnya, dalam mekanisme pengadilan HAM sebagaimana tertuang dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Roi, regulasi itu masih terdapat kelemahan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Namun, Statuta Roma dapat mengisi kekurangan itu ketika sudah diratifikasi. Misalnya, terkait ganti rugi dan rehabilitasi kepada para korban. Sejalan dengan itu Roi yakin dengan meratifikasi Statuta Roma, upaya untuk memotong mata rantai impunitas yang kerap terjadi di Indonesia akan signifikan.

Walau begitu Roi menekankan mekanisme dalam Statuta Roma tidak serta merta menyeret para pelaku pelanggaran HAM berat ke ICC. Tapi tetap mengacu pada hukum nasional, seperti diatur dalam UU Pengadilan HAM. “Tapi setidaknya ada gambaran, Indonesia sudah punya mekanisme nasional untuk mengadili pelaku kejahatan HAM berat sebagaimana yang termaktub dalam Statuta Roma,” tuturnya.

Selain itu Roi menjelaskan bahwa Statuta Roma merupakan instrumen untuk melindungi masyarakat sipil dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang bersifat masif. Seperti Genosida dan Agresi. Untuk itu, Komnas HAM berkepentingan untuk terus mendorong pemerintah dan DPR meratifikasi Statuta Roma dalam rangka melindungi HAM rakyat Indonesia.

Sedangkan direktur FRR Law Office sekaligus pakar hukum humaniter internasional, Fadillah Agus, berharap pemerintah dan DPR segera meratifikasi Statuta Roma pada tahun ini. Pasalnya, 2014 adalah tahun politik, ia khawatir pemerintah dan DPR tidak fokus untuk meratifikasinya. Mengingat ada pihak-pihak yang keberatan jika Statuta Roma diratifikasi, Fadillah menegaskan ketentuan itu tidak menggantikan sistem pidana nasional. Ia melihat Statuta Roma hanya pelengkap sistem hukum yang sudah dijalankan Indonesia saat ini.

Fadillah menjelaskan Statuta Roma dapat mempercepat proses reformasi pidana nasional. Apalagi, belakangan ini sejumlah peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana sudah digagas untuk diperbaiki seperti KUHP, KUHAP dan Peradilan Militer. Bahkan, walau secara resmi Statuta Roma belum diratifikasi, Fadillah melihat ada sejumlah ketentuan di Statuta yang dimasukan dalam revisi KUHP. Menurutnya langkah itu cukup positif, namun dampaknya akan lebih signifikan jika Statuta Roma diratifikasi.

“Statuta Roma tidak bertentangan dengan hukum Indonesia karena jelas kita bagian dari masyarakat internasional dan berperan menegakan perdamaian dan keadilan internasional,” ujarnya Fadillah.

Fadillah mengingatkan, sekalipun Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, bukan berarti bisa lepas dari mekanisme peradilan ICC. Pasalnya, jika ke depan terjadi pelanggaran HAM berat, besar kemungkinan Indonesia dapat diseret ke ICC. Menurutnya, hal itu pernah dialami pemerintah di Sudan.

Tags:

Berita Terkait