Pemerintah Longgarkan Kriteria Fasilitas Penjaminan untuk Korporasi
Berita

Pemerintah Longgarkan Kriteria Fasilitas Penjaminan untuk Korporasi

Perbankan diharapkan dapat menyalurkan kredit kepada pelaku usaha korporasi yang membutuhkan karena tingkat risiko kredit telah dijamin dalam skema penjaminan ini.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan revisi terhadap PMK No. 98 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional. PMK 98/2020 mengatur skema penjaminan kredit yang diterbitkan sebagai bentuk dukungan pemerintah kepada pelaku usaha saat pandemi Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan melalui skema penjaminan kredit modal kerja ini diharapkan perbankan dapat menyalurkan kredit kepada pelaku usaha korporasi yang membutuhkan, karena tingkat risiko kredit telah dijamin oleh skema penjaminan ini. Untuk meningkatkan pemanfaatan fasilitas penjaminan tersebut, Pemerintah telah melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan tata kelola dalam PMK 98/2020.

Perubahan ketentuan berupa pelonggaran kriteria pelaku usaha korporasi bersifat lebih akomodatif dan fleksibel, sehingga dapat mencakup lebih banyak pelaku usaha korporasi untuk menerima fasilitas penjaminan. Selain itu, beberapa perubahan juga dilakukan agar kriteria penjaminan pemerintah lebih menyesuaikan dengan risiko yang dihadapi oleh penjamin, perbankan, dan pelaku usaha korporasi. (Baca: Ini 3 Pokok Perluasan Insentif PPnBM)

“Pelonggaran pengaturan penjaminan ini diharapkan dapat mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit modal kerja kepada pelaku usaha korporasi. Sampai dengan saat ini, pandemi Covid-19 telah meningkatkan risiko usaha yang berdampak pada kesulitan kondisi keuangan pelaku usaha korporasi,” kata Sri Mulyani, Senin (5/4).

Risiko tersebut antara lain berupa penurunan volume penjualan atau laba, terganggunya perputaran usaha di sektor terdampak, dan lokasi usaha berada dalam wilayah yang berisiko. Pelaku usaha korporasi juga terhambat untuk kembali melakukan aktivitas normal, salah satunya disebabkan kesulitan untuk mendapatkan kredit modal kerja.

Pelonggaran atas ketentuan tata kelola penjaminan pemerintah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.08/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Adapun rincian perubahan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 1) mengubah kriteria pelaku usaha korporasi; 2) menambah tenor pinjaman yang dijamin; 3) mengurangi batas minimal pinjaman modal kerja; 4) menambah pengaturan terkait pinjaman sindikasi dan restrukturisasi pinjaman; 5) mengubah porsi subsidi IJP yang ditanggung Pemerintah; 6) merubah formula penghitungan IJP; 7) serta memperpanjang batas akhir fasilitas penjaminan.

Berdasarkan penyempurnaan ketentuan tersebut, maka kriteria untuk pelaku usaha korporasi selaku terjamin, meliputi: mempekerjakan tenaga kerja minimal 100 (seratus) orang. Namun demikian, Menteri dapat memberikan pengecualian jumlah tenaga kerja minimal menjadi 50 orang kepada sektor tertentu yang ditetapkan dalam surat Menteri.

Kemudian kriteria pelaku usaha terdampak Covid-19, di antaranya: volume penjualan maupun laba pelaku usaha mengalami penurunan; sektor industri pelaku usaha terdampak; lokasi usaha pelaku usaha termasuk wilayah yang berisiko; perputaran usaha pelaku usaha terganggu; dan/atau kredit modal kerja sulit diakses oleh pelaku usaha.

Kriteria untuk pelaku usaha berbentuk badan usaha dengan kriteria merupakan debitur existing dan/atau debitur baru dari Penerima Jaminan; tidak termasuk dalam daftar hitam nasional; dan memiliki performing loan lancar (kolektibilitas 1 atau kolektibilitas 2) posisi per tanggal 29 Februari 2020.

“Dengan adanya pelonggaran ketentuan pada skema penjaminan pemerintah ini diharapkan dapat membantu menjaga kondisi keuangan korporasi sekaligus turut membangkitkan sektor riil dan memberikan dampak ke aspek lainnya, seperti minimalisasi pemutusan hubungan kerja akibat pandemic,” jelas Sri Mulyani.

Hal ini sejalan dengan tujuan program PEN yang diamanatkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020, yaitu untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para Pelaku Usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya.

Sebelumnya, ekonom Chatib Basri mendorong penjaminan kredit kepada pelaku usaha pada 2021 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebagai imbas pandemi Covid19. "Kebijakan sudah ada, tinggal implementasi dilakukan dan dibuat aturannya sederhana," katanya seperti dilansir Antara.

Dia menjelaskan penjaminan kredit akan ditanggung 80 persen oleh pemerintah dan sisanya oleh perbankan. Menurutnya, penjaminan kredit kepada pelaku usaha akan mendorong perbankan lebih percaya diri menyalurkan kredit di tengah pandemi, sehingga dunia usaha memiliki ruang untuk meningkatkan kapasitas produksinya.

Namun, ia menekankan agar produksi dunia usaha itu terserap, pemerintah didorong memperluas stimulus bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat pendapatan menengah ke bawah agar mendorong permintaan.

Dengan adanya permintaan, maka pelaku usaha akan melakukan investasi yang pendanaannya salah satunya bersumber dari perbankan. "Jika konsumsi rumah tangga didorong dengan diberikan BLT, permintaan ada, maka investasi naik," ucapnya.

Menteri Keuangan periode 2013-2014 itu menambahkan cara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah dengan mendorong investasi atau ekspansi bisnis pelaku usaha. Dengan begitu, maka perusahaan akan merekrut tenaga kerja, sehingga mendorong mereka memiliki daya beli.

Namun, mengingat pandemi Covid-19 belum berakhir, lanjut dia, maka pelaku usaha diyakini enggan melakukan ekspansi bisnis mengingat kapasitas usaha yang dibatasi terkait PSBB, misalnya restoran yang harus menerapkan jaga jarak dan tidak melebih 50 persen ruangan.

"Restoran misalnya (kapasitas) maksimal 50 persen, tidak mungkin 100 persen. Akibatnya, jika skala bisnis tidak dapat tapi biaya over head, dia harus bayar sama, risikonya tidak untung," katanya.

Tags:

Berita Terkait