Pemerintah Klaim Tak Ada Resentralisasi dalam RUU Cipta Kerja
Berita

Pemerintah Klaim Tak Ada Resentralisasi dalam RUU Cipta Kerja

Menko Perekonomian Airlangga Hartato menegaskan bahwa tak ada satupun pasal dalam RUU Cipta Kerja yang menyebutkan resentralisasi.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

“Pemerintah berdasarkan aspirasi masyarakat dan pemangku kepentingan tetap dapat menyampaikan tambahan penjelasan untuk penyempurnaan rumusan RUU Cipta Kerja dalam pembahasan di DPR,” pungkas Airlangga.

 

(Baca Juga: Mempertanyakan Pasal UU Terdampak dalam Omnibus Law)

 

Sebelumnya, pasca pemerintah menyerahkan naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja ke DPR, materi muatan draft RUU ini terus menjadi sorotan publik. Salah satunya, ketentuan Pasal 166 RUU Cipta Kerja terkait kewenangan pemerintah pusat membatalkan peraturan daerah (perda) melalui peraturan presiden (perpres). Substansi pasal ini mirip seperti yang tercantum dalam Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait mekanisme pembatalan perda oleh pemerintah pusat.

 

Namun, ketentuan ini pernah diubah oleh MK melalui Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal UU No. 23 Tahun 2014 yang dibacakan pada Rabu (5/4/2017). Salah satunya, Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU Pemda terkait mekanisme pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri yang dinyatakan inkonstitusional/bertentangan dengan UUD 1945.

 

Mahkamah beralasan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang memberi wewenang menteri dan gubernur membatalkan Perda Kabupaten/Kota selain bertentangan peraturan yang lebih tinggi (UU), juga menyimpangi logika bangunan hukum yang telah menempatkan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam hal ini, Perda Kabupaten/Kota, seperti ditegaskan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. 

 

Pembatalan Perda Kabupaten/Kota melalui keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seperti diatur Pasal 251 ayat (4) UU Pemda pun, menurut Mahkamah tidak sesuai rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia. Merujuk Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

 

Menurut Mahkamah, kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Bagi Mahkamah adalah kekeliruan ketika Perda Kabupaten/Kota sebagai produk hukum berbentuk peraturan (regeling), dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai produk hukum berbentuk keputusan (beschikking).

 

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti Muhammad Imam Nasef menilai Pasal 166 RUU Cipta Kerja bentuk pembangkangan terhadap konstitusi karena memuat kembali pasal yang sebelumnya sudah pernah dibatalkan MK. Menurutnya, Pasal 166 RUU Cipta Kerja pun mengkonfirmasi penelitian 3 dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada 2019 yang menemukan dari 109 putusan MK yang diteliti terdapat 25 putusan MK (22,01) persen tidak dipatuhi pemangku kepentingan. 

Tags:

Berita Terkait