Pemerintah Klaim DPR Sudah Dilibatkan dalam Proses Perjanjian Internasional
Berita

Pemerintah Klaim DPR Sudah Dilibatkan dalam Proses Perjanjian Internasional

Selama ini pemerintah dan DPR selalu mencermati dinamika perjanjian internasional hingga implikasinya terhadap Indonesia.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang keterangan pemerintah atas uji materi Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Keempat pasal tersebut dinilai telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi rakyat lantaran hilangnya atau lemahnya kontrol dan keterlibatan rakyat (DPR) dalam proses perundingan perjanjian internasional.

 

Para pemohon diantaranya, Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesian Human Rights and Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Solidaritas Perempuan (SP) dan KIARA. Lima pemohon perorangan yakni Amin Abdullah, Mukmin, Fauziah, Baiq Farihun dan Budiman.

 

Mereka meminta MK agar Pasal 2 dan 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional dihapus/dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional sepanjang frasa ”dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden” bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

 

Sementara Pasal 10 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan Negara hanya terbatas pada: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”

 

Pemerintah menilai para pemohon telah membaca Pasal 2 UU Perjanjian Internasional secara parsial dan tidak diintegrasikan dengan pasal lain yang berakibat keliru menafsirkannya. “Kalau Pasal 2 dibaca secara utuh dan satu kesatuan dengan Pasal 10 dan Pasal 11. Pasal-pasal itu tegas dan jelas keterlibatan DPR dalam proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri, Mayerfas di ruang sidang MK, Kamis (5/4/2018).

 

Pasal 2 UU Perjanjian Internasional disebutkan, “Menteri  memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.”   

 

Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional. Pasal itu menyebutkan “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden”.

 

Dia menerangkan Pasal 2 merupakan kewenangan tambahan DPR yang sebelumnya tidak ada. Karena itu, keliru jika Pasal 2 diartikan meniadakan persetujuan DPR. Padahal, dua pasal terakhir yang dijuji juga telah tegas menjelaskan keterlibatan DPR dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional.

 

Sebagai contoh, pemerintah pernah tidak melanjutkan pengesahan perjanjian pertahanan Republik Indonesia dan Singapura Tahun 2017 karena hasil konsultasi dengan DPR mengindikasi penolakan perjanjian ini. “Jadi, jika Pasal 2 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti didalilkan Pemohon, justru akan mengurangi, bahkan ‘menggerogoti’ kewenangan DPR yang selama ini telah berfungsi efektif,” ujarnya. (Baca juga: Fungsi Kontrol DPR Lemah, UU Perjanjian Internasional Dipersoalkan)

 

Terkait Pasal 9, Mayerfas menjelaskan istilah persetujuan DPR untuk meratifikasi perjanjian internasional digunakan sebelum terbitnya UU Perjanjian Internasional ini. Tradisi ini mewarisi sistem hukum Belanda yang sampai saat ini tetap menggunakan Undang-Undang ratifikasi perjanjian internasional sebagai bentuk persetujuan DPR.

 

Namun, UU Perjanjian Internasional cenderung menggunakan istilah pengesahan dengan UU ketimbang menggunakan istilah persetujuan DPR. Karena itu, pemerintah berpendapat istilah pengesahan dengan UU dalam UU Perjanjian Internasional yang diuji ini harus diartikan sebagai bentuk persetujuan DPR.

 

“Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 telah mendelegasikan sepenuhnya kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut bagaimana bentuk dan model persetujuan DPR dan kriteria lebih lanjut perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR ini,” lanjutnya.  

 

Praktiknya, penetapan kriteria perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan parlemen berbeda dari satu negara dengan negara lain. Hal ini sangat tergantung pada politik hukum masing-masing negara. Beberapa negara, misalnya, menerapkan kriteria berdasarkan bidang materi perjanjian (politik, ekonomi, hankam, dan lain-lain); berdasarkan dampak perjanjian; berdasarkan pada pembagian kewenangan eksekutif dan legislatif.  

 

“Tergambar jelas bahwa soal kriteria ini tidak bersifat statis (tetap), namun dinamis,” bebernya.  

 

Menurutnya, selama ini pemerintah dan DPR selalu mencermati dinamika perjanjian internasional hingga implikasinya terhadap Indonesia. Melalui kebijakan terbuka (open legal policy), pembentuk UU akan selalu menyempurnakan kriteria ini. Saat ini, pemerintah sedang mengevaluasi soal kriteria ini dalam rangka revisi UU Perjanjian Internasional ini.

 

“Kekhawatiran Pemohon tentang perjanjian perdagangan oleh UU ini tidak termasuk perjanjian yang mengharuskan persetujuan DPR telah diakomodasi dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.”

Tags:

Berita Terkait