Pemerintah Kesulitan Eksekusi Putusan ICSID
Berita

Pemerintah Kesulitan Eksekusi Putusan ICSID

Butuh dana untuk mengejar aset perusahaan itu.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penyelesaian sengketa. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penyelesaian sengketa. Ilustrator: HGW

Pemerintah Indonesia berhasil lolos dari gugatan di International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Amerika Serikat. Keberhasilan di forum arbitase menghadapi gugatan Churchill Mining Plc asal Inggris dan anak perusahaannya Planet Mining Pty Ltd asal Australia menjadi modal positif bagi Indonesia menghadapi sengketa internasional melawan perusahaan asing di arbitrase internasional.

 

Apalagi, putusan tribunal ICSID mengabulkan klaim Pemerintah untuk mendapatkan penggantian biaya berperkara (award on costs) sebesar AS$9,4 juta. Setelah memenangkan sengketa itu, pemerintah Indonesia kini menghadapi persoalan baru. Kedua perusahaan ditengarai tidak memiliki kapasitas finansial yang cukup untuk membayar biaya perkara sesuai dengan putusan tribunal ICSID.

 

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cahyo Rahadian Muzhar, menginformasikan bahwa Churchill Mining Plc sedang menghadapi masalah di bursa efek London. Total aset Churchill yang tersisa mungkin tidak mencapai sepertiga kewajiban untuk mengganti biaya perkara terhadap pemerintah Indonesia.

 

(Baca juga: Jalan Panjang Pemerintah Memenangkan Gugatan di Arbitrase Internasional).

 

Meski begitu, Dirjen Cahyo mengatakan Pemerintah Indonesia akan terus mengejar kemungkinan-kemungkinan aset yang dimiliki Churchill. Meskipun aset tersebut kemungkinan berada di berbagai tempat di beberapa negara, Cahyo berjanji pemerintah akan terus mengejar sebagai upaya mengakkan tanggung jawab perusahaan tersebut atas putusan arbitrase ISCID.

 

“Kita akan terus mem-persue dalam arti kita akan meng-enforcement asetnya yang ada dimanapun juga. Yang ada di inggris, yang ada di Australia, dimanapun juga,” ujar Cahyo kepada hukumonline sesaat setelah menjadi pembicara di salah satu diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Arbitrase dan Mediasi Indonesia (PAMI) Jumat (5/7), di Kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

 

Cahyo menyebutkan Pemerintah akan menempuh berbagai cara, mulai dari pendekatan antar sesama pemerintah (government to government), hingga meminta bantuan sejumlah lembaga nasional dan internasional. Cuma, Cahyo belum bisa menyampaikan kemajuan upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah. Ia berdalih itu merupakan bagian dari strategi pemerintah. Ia khawatir kebocoran informasi kemajuan langkah itu berdampak pada semakin sulitnya proses pemerintah mengejar aset Churchill Mining Plc. “Nanti mereka juga akan tahu sampai di mana kita bergerak,” ujarnya.

 

Pengejaran aset Churchill membutuhkan waktu dan biaya. Karena itu, diakui Cahyo, Pemerintah harus cermat berhitung. Investigasi atau penelusuran aset kedua perusahaan mutinasional tidak mudah. “Informasi seperti apa yang kita butuhkan kan itu biaya sangat tergantung. Untuk jenis exercise yang akan kita lakukan,” ujar Cahyo.

 

Belajar dari persoalan ini, Cahyo menyebutkan bahwa pemerintah Indoensia juga saat ini tengah memberikan masukan kepada ICSID untuk melakukan perubahan atas peraturan-peraturan terutama hukum acara aribtrase di ICSID. Ini penting, tidak hanya untuk Indoensia, tapi juga untuk seluruh anggota Konvensi ICSID.

 

Pemerintah juga mendorong agar ICSID membuat aturan menempuh jalur arbitrase di ICSID untuk membuka sejumlah hal, terutama aspek sumber pembiayaan berperkara di ICSID. “Misalnya dari awal jika ada gugatan, pihak yang menggunakan third party funder yah dia harus ungkap. Tidak hanya sebatas disclose itu tapi mereka juga disclose perjanjian third party funding-nya,” ungkap Cahyo.

 

Dengan begitu, para pihak tidak hanya menyebutkan siapa pihak yang membiayai proses berperkara mereka di forum ICSID, tapi juga para pihak juga bisa mengetahui seberapa besar kekuatan finasial pendana sehingga pada saat putusan keluar, tidak lagi menemukan kesulitan mengeksekusi putusan. Pemerintah mengajak sejumlah negara untuk mendorong aturan tersebut.

 

(Baca juga: Menkumham Minta ICSID Akhiri Gugatan Churchill).

 

Cahyo menilai peraturan semacam ini harus dibuat ICSID untuk menjamin terpenuhinya hak-hak para pihak bersengketa. “Rules lah yang mewajibkan mereka untuk mendisclose siapa third party funder-nya termasuk disclose perjanjiannya”.

 

Ketua Pusat Arbitrase dan Mediasi Indonesia (PAMI), Indra Safitri menyarankan agar Pemerintah terus berupaya mencari jalan keluar dari persoalan ini sebab putusan ICSID harus dapat dijalankan secara efektif. Ia menilai Churchill tidak menunjukkan itikad baik untuk memenuhi kewajiban pelunasan biaya perkara. “Kendalanya hari ini sebenarnya aset kan,” ujar Indra.

 

Indra menyebut persoalan ini pelajaran bagi Pemerintah. Investor asing yang akan menginvestasikan uangnya di Tanah Air harus memiliki portofolio jelas, termasuk aspek keuangan dan aset yang dimiliki. Jika ada dispute  dengan Pemerintah, segala aset dan dan kepemilikan investor menjadi jaminan pemenuhan kewajiban. “Artinya orang berinvestasi masak dia tidak punya apa-apa malah dia mengklaim sesuatu yang secara hukum bukan haknya dia,” ujar Indra.

 

Indra juga mendorong revitalisasi peraturan arbitrase di Indonesia. Sebab ketentuan yang ada saat ini sudah banyak tertinggal. Modernisasi peraturan perundang-undangan sudah menjadi kebutuhan. “Kita tidak bisa mengabaikan karena arbitrase ini tidak begitu popular. Untung di kasus Churchill kita bisa menang karena kita menemukan ada kesalahan. Tapi kalau ternyata kita di posisi yang berbeda, bagaimana?,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait