Pemerintah Kaji Strategi Penerimaan Pajak 2015
Berita

Pemerintah Kaji Strategi Penerimaan Pajak 2015

Penurunan harga BBM akan mempengaruhi penerimaan pajak dari sektor PPh migas.

FNH
Bacaan 2 Menit
Kementerian Keuangan. Foto: SGP
Kementerian Keuangan. Foto: SGP
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji strategi penerimaan pajak untuk 2015. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, target penerimaan pajak dalam APBN 2015 cukup tinggi yakni sebesar Rp1.221,72 triliun. Tanpa strategi jitu, target ini bisa bernasib sama dengan tahun sebelumnya. Target pajak tidak terealisasi.

“Saya sedang membahas strategi penerimaan pajak tersebut dengan Dirjen Pajak. Karena tantangannya adalah target penerimaan pajak yang besar, sehingga membutuhkan strategi-strategi untuk mencapainya,” kata Bambang dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu Jakarta Pusat, Senin (05/1).

Selain menyoal target pada APBN 2015, tantangan lain yang juga dihadapi Ditjen Pajak sepanjang 2015 adalah penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas (migas). Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) secara langsung akan mempengaruhi penerimaan PPh Migas. Sehingga dipastikan turut mempengaruhi penerimaan pajak.

Dijelaskan Bambang, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan berusaha menutupi pengurangan penerimaan pajak dari PPh migas. Namun strategi apa yang akan ditempuh, diakui Bambang masih dalam kajian. Tapi, kenaikan tarif pajak tidak menjadi bagian dari strategi yang akan ditempuh oleh DJP.

“Pajak ingin cover itu (penurunan PPh migas). Caranya bukan dengan menaikkan tarif pajak. Kalau PPh migas kurang, tidak ada kompensasi,” tegasnya.

Strategi-strategi tersebut memang sudah sepatutnya menjadi kajian dari Kemenkeu dan DJP. Mengingat, beberapa tahun belakangan DJP tak pernah mencapai target penerimaan pajak sesuai dengan APBN. Untuk realisasi 2014 per 31 Desember 2014, penerimaan pajak tercatat Rp1.143,3 triliun. Padahal target penerimaan pajak sesuai dengan APBNP adalah sebesar Rp1.633,1 triliun.

Menurut Bambang, memang hampir semua jenis penerimaan perpajakan lebih rendah dari target. Hal tersebut disebabkan karena melambatnya pertumbuhan ekonomi pada sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan, adanya pelemahan impor dan penurunan harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar internasional. “Penerimaan yang kinerjanya lebih baik di tahun lalu adalan PBB dan pajak lainnya,” ujar Bambang.

Untuk pertumbuhan ekonomi, realisasi tahun 2014 hanya sebesar 5,1 persen. Target dalam APBNP adalah 5,5 persen.

Sebelumnya, pengamat perpajakan Darussalam berpendapat tidak tercapainya target pajak antara lain karena Dirjen Pajak yang tidak memahami soal perpajakan secara menyeluruh. Situasi ini pada akhirnya akan menimbulkan sengketa perpajakan. Jumah sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak bisa menjadi indikatornya.

Pencapaian target pajak tentu menjadi tantangan bagi Dirjen Pajak baru. Saat ini proses seleksi Dirjen Pajak masih berjalan. Untuk itu Darussalam berharap agar pemimpin DJP mendatang berasal dari internal DJP. Kalaupun dari eksternal, Darussalam mensyaratkan kandidatnya harus memiliki pemahaman di bidang perpajakan.

Selain itu, Dirjen Pajak terpilih diharapkan dapat membenahi kondisi internal DJP. Kondisi dimaksud adalah kapasitas DJP saat ini berbanding terbalik dengan potensi pajak yang sangat besar. Jika tak ada perbaikan kapasitas, Darussalam sangsi target pajak akan tercapai.

Pengamat perpajakan Rony Bako justru mengkritisi sistem APBN yang digunakan saat ini. Ia berpendapat siapapun yang nanti akan terpilih manjadi Dirjen Pajak, pencapaian target pajak dipastikan akan terganggu karena sisi penerimaan harus menyesuaikan dengan sisi pengeluaran, bukan sebaliknya. “Siapapun Dirjen Pajaknya, kalau APBN digabung seperti sekarang, pasti akan terganggu di sisi penerimaan,” kata Rony.

Sementara itu, sistem APBN yang dipisah antara penerimaan dan pengeluarkan tidak mengganggu sisi penerimaan karena tak ada APBN Perubahan. Anggaran pengeluaran yang sudah diatur akan dipakai hingga masa anggaran selesai sehingga sisi penerimaan menjadi tak terganggu. Sistem ini pernah digunakan oleh Indonesia dari tahun 1946-1967.

“Jadi sistem APBN sekarang ini tidak saling melengkapi. Jika letak persoalannya di sana, berani tidak mengubah sistem APBN sekarang?” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait