Pemerintah Kaji Rencana Penyamarataan Royalti Batubara
Berita

Pemerintah Kaji Rencana Penyamarataan Royalti Batubara

Dampak harga batubara global terhadap pemegang IUP menjadi pertimbangan pemerintah.

KAR
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Kaji Rencana Penyamarataan Royalti Batubara
Hukumonline
Pemerintah kembali melakukan kajian untuk mempersiapkan kenaikan royalti batubara tahun ini. Rencananya, kenaikan royalti ini akan menyasar perusahaan tambang batubara yang memegang izin usaha pertambangan (IUP). Kajian yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dilakukan agar tidak memberatkan pelaku usaha.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, R. Sukhyar, mengungkapkan bahwa harga batubara global menjadi pertimbangan pihaknya dalam mengkaji kenaikan royalti. Pasalnya, saat ini harga batubara di pasar dunia sedang berada di level terbawah dalam kurun empat tahun terakhir. Hal ini diakibatkan melimpahnya pasokan global dan penurunan impor oleh Cina.

Lebih lanjut Sukhyar mengatakan, kondisi tersebut menjadi ganjalan kementeriannya dalam menetapkan besaran kenaikan royalti. Ia menyebut, upaya pihaknya untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak pun masih terkendala Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2012 yang mengatur tentang PNBP.

Di dalam PP tersebut ditentukan bahwa besaran royalti yang diserahkan ke pemerintah oleh pemegang IUP masih berkisar 3,5-5 persen, sementara Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebesar 13,5 persen.

“Tadinya kami ingin samaratakan dengan PKP2B sebesar 13,5 persen. Cuma karena harga batubara saat ini sedang turun, maka kami perhatikan juga dampaknya pada perusahaan batubara pemegang IUP,” kata Sukhyar di Jakarta, Kamis (10/4).

Selain itu, kajian yang tengah dilakukan pemerintah menurut Sukhyar juga mempertimbangkan aspirasi para pengusaha. Sebagaimana diketahui, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) telah menyatakan keberatan terhadap rencana kenaikan royalti itu. Sukhyar pun meminta perusahaan batubara agar tak selalu mengeluhkan kenaikan pajak royalti batubara.

“Mereka kalau sudah susah dan harga batubara turun minta keringanan. Sementara kalau harga batubara naik mereka diam-diam saja,” kritiknya.

Di sisi lain, pengamat pertambangan dan metalurgi, Yusuf, meminta pemerintah untuk bersikap rasional dan terbuka dalam mengkaji kenaikan royalti itu. Menurutnya, secara besaran, memang terlihat tidak adil, ketika perusahaan pertambangan pemegang kontrak karya (KK) dan PKP2B dikenakan royalti 13,5 persen, sedangkan  IUP hanya dikenakan kewajiban 3,5 persen dan 7 persen.

Hanya saja, yusuf menekankan, dalam industri batu bara juga harus dilihat striping ratio-nya, lokasi tambang, ketebalan sin, dan kualitas batu bara.“Jika melihat  beberapa aspek tersebut, maka keinginan untuk menyamakan royalti IUP dan PKP2B justru tidak adil,” katanya.

Yusuf mengusulkan agar perusahaan pertambangan batu bara yang sudah melaksanakan prinsip good mining practice, sebaiknya diberi kompensasi. Ia menyebut bentuk kompensasi itu bisa diberikan dengan mengenakan royalti yang lebih rendah. Sementara itu, perusahaan yang tidak menjalankan prinsip itu, dikenakan beban yang lebih tinggi. Bahkan, Yusuf menambahkan, bila perlu diberikan terminasi atau diberhentikan kegiatan pertambangannya.

“Lebih baik memberikan insentif royalti lebih rendah kepada yang menjalakan prinsip good mining practice, ketimbang menaikan royalti. Tapi semua pihak juga harus duduk bersama, buka-bukaan, dan fair. Kalaupun ada rencana kenaikan, hitungannya harus jelas dan rasional,” tuturnya.
Tags:

Berita Terkait