Pemerintah Jelaskan Rasionalitas Perubahan Pengaturan PKWT
RUU Cipta Kerja:

Pemerintah Jelaskan Rasionalitas Perubahan Pengaturan PKWT

Karena faktanya ada jenis pekerjaan yang sifatnya sementara selesainya melebihi 3 tahun dan sering terjadi penggelapan hukum. Sementara PKWTT akan tetap ada karena tidak semua jenis pekerjaan sifatnya sementara, ada pekerjaan yang sifatnya terus menerus.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Ysf hol.
Ilustrasi: Ysf hol.

Regulasi ketenagakerjaan di Indonesia dianggap sangat rumit dan rigid (kaku), sehingga dinilai memberatkan pelaku usaha (pengusaha). Atas dasar itu, pemerintah memasukkan beberapa UU terkait ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja yang bakal dihapus dan diubah pengaturannya demi kemudahan berusaha dan pertumbuhan ekonomi.    

 

Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang mengatakan Bank Dunia mencatat beberapa hal terkait peraturan ketenagakerjaan di Indonesia antara lain peraturan yang kaku terutama dalam merekrut dan memecat pekerjanya.

 

Selain itu, upah minimum di Indonesia dinilai sangat tinggi besarannya, sehingga memberatkan perusahaan (pengusaha). Melansir kajian Bank Dunia, Haiyani menyebut setiap kenaikan upah minimum akan menurunkan peluang kerja sampai 0,8 persen.

 

“Atas dasar itu, regulasi ketenagakerjaan harus dibenahi dan pemerintah telah memasukannya sebagai salah satu dari 11 klaster dalam RUU Cipta Kerja,” kata Haiyani.

 

Haiyani menjelaskan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja membahas sedikitnya 6 hal, salah satunya pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau lazim disebut pekerja kontrak. Menurut Haiyani, jenis perjanjian kerja pada intinya sama seperti diatur UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni PKWT dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

 

“Masih sama seperti UU No.13 Tahun 2003, PKWT tidak boleh mensyaratkan masa percobaan. Jika disyaratkan, maka masa percobaan itu batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung,” terangnya.

 

Dia melanjutkan RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 yang mengatur persyaratan PKWT. Nantinya, ketentuan mengenai persyaratan PKWT yakni jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) seperti diatur Pasal 56 ayat (4) RUU Cipta Kerja.

 

“Perlu dicermati pula Pasal 56 ayat (3) RUU Cipta Kerja mengatur jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak,” jelasnya.

 

Namun, ada norma baru yang diatur Pasal 61A RUU Cipta Kerja terkait adanya kompensasi yang wajib dibayar pengusaha ketika jangka waktu PKWT berakhir. Kompensasi itu diberikan untuk buruh dengan masa kerja minimal 1 tahun di perusahaan yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kompensasi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

“Setiap berakhirnya PKWT ada kompensasi yang wajib dibayar pengusaha kepada buruh. Ini merupakan bentuk perlindungan, memberi jaminan, dan kepastian bagi PKWT,” kata Haiyani dalam diskusi di Jakarta, Kamis (5/3/2020). Baca Juga: Akademisi Ini Kritik Cara Penyusunan RUU Cipta Kerja

 

Dia mengakui ada pandangan yang menyebut RUU Cipta Kerja akan melanggengkan PKWT dan menutup ruang bagi pekerja untuk berstatus PKWTT (pekerja kontrak seumur hidup). Namun demikian, Haiyani menyebut PKWTT akan tetap ada karena tidak semua jenis pekerjaan sifatnya sementara, ada pekerjaan yang sifatnya dilakukan terus menerus.

 

Menurutnya, PKWT berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak maksudnya untuk membenahi (mengubah) praktik selama ini. Padahal, secara normatif PKWT dibatasi 2 tahun, kemudian dapat diperpanjang lagi 1 tahun. Faktanya, ada jenis pekerjaan (yang sifatnya sementara itu, red) yang selesai lebih dari 3 tahun. Untuk mengakomodir kepentingan itu batas waktu (maksimal 3 tahun, red) PKWT dihapus.

 

“Jadi nanti di UU Ketenagakerjaan tidak ada lagi jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu karena akan diatur dalam PP,” terangnya.

 

Lebih fleksibel

Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida menilai ketentuan PKWT dalam RUU Cipta Kerja menjadi lebih fleksibel dibandingkan UU No.13 Tahun 2003. Misalnya, jangka waktu PKWT dalam UU No.13 Tahun 2003 dibatasi sampai 3 tahun. Aturan itu dianggap sangat kaku dan kerap terjadi penggelapan hukum yakni jangka waktu PKWT tidak sesuai aturan karena pekerjaan belum selesai dan pekerja juga masih ingin tetap bekerja.

 

“Setelah kontrak selesai pekerja melamar lagi pada perusahaan yang sama, sehingga ada PKWT yang jangka waktunya lebih dari 3 tahun,” ujarnya mencontohkan.

 

Ike Farida melihat pemerintah berupaya melonggarkan aturan PKWT dan membuatnya lebih fleksibel yakni jangka waktu PKWT tidak ditentukan atau sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Terpenting, ketika jangka waktu PKWT selesai pekerja mendapat kompensasi, seperti pesangon. “Pekerja kontrak menjadi lebih terlindungi dengan adanya kompensasi ini,” katanya.

 

Pakar Hukum Ketenagakerjaan Prof Payaman Simanjuntak menilai perubahan Pasal 61 UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja belum mengatur sumber pendanaan kompensasi bagi pekerja PKWT jika masa kontraknya berakhir. Kemungkinan akan diatur lebih lanjut dalam PP, apakah nanti bentuknya iuran wajib yang dibayar pengusaha atau menggunakan mekanisme lain?

 

“Perusahaan minyak dan gas sudah menerapkan ini ketika pekerjanya selesai kontrak, lalu mendapatkan kompensasi sesuai masa kerjanya. Setiap bulan pengusaha menabung sekitar 8,33 persen dari besaran upah pekerja,” ujarnya memberikan contoh.

 

Sementara Wakil Ketua Umum DPP FSP-KEP KSPI Sahat Butar Butar menegaskan persyaratan yang diatur dalam Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 merupakan bentuk perlindungan bagi buruh. Ketentuan itu mengatur jenis pekerjaan apa saja yang bisa menggunakan PKWT dan berapa lama jangka waktunya. “Jika PKWT tidak diatur ketat, maka memperkecil peluang buruh dipekerjakan secara PKWTT, ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan buruh,” katanya.

Tags:

Berita Terkait