Pemerintah Jelaskan Makna ‘Bencana Nasional’ dalam UU Pemberantasan Tipikor
Berita

Pemerintah Jelaskan Makna ‘Bencana Nasional’ dalam UU Pemberantasan Tipikor

Menurut Pemerintah harapan para Pemohon agar kata “nasional” dihapus menjadi “bencana alam”, sehingga hukuman mati dapat diterapkan merupakan pendapat keliru dan tidak beralasan hukum.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Kata “nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan bagian penjelasan norma Pasal 2 UU Tipikor yang termasuk penerapan asas “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa didasari peraturan yang mendahuluinya”. Hal ini berarti norma pidana yang dibangun secara ketat dengan mengukur bentuk kerugian, besar dan ringannya kerugian, serta dampak yang timbul akibat tindak pidana itu.

 

“Kata ‘nasional’ salah satu pengetatan norma pidana dalam Pasal 2 yang membedakan antara keadaan ‘bencana alam’ dengan keadaan ‘bencana alam nasional’. Jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan ‘bencana alam’, berlaku Pasal 1. Namun jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan ‘bencana alam nasional’, berlaku Pasal 2,” ujar Direktur Litigasi Kemenkumham Ardiansyah mewakili pemerintah di sidang lanjutan pengujian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor di ruang sidang MK, Senin (25/2/2019) seperti dikutip situs MK.  

 

Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”

 

Ardiansyah menerangkan tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam dijatuhi pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Namun tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam nasional dapat diancam hukuman mati. Baca Juga: MK Diminta Pertegas Korupsi dalam Bencana Alam Dijatuhi Hukuman Mati

 

Pemerintah menilai harapan para Pemohon agar kata “nasional” dihapus menjadi “bencana alam”, sehingga hukuman mati dapat diterapkan merupakan pendapat keliru dan tidak beralasan hukum. Sebab, selain tidak implementatif, juga dapat menimbulkan permasalahan hukum. Menurut Pemerintah, penjatuhan hukuman mati untuk jenis kejahatan sangat berat, sehingga hukuman mati tidak dapat diterapkan begitu saja tanpa memerlukan syarat-syarat tertentu.

 

Pemerintah juga berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan kata “nasional” menghambat upaya pemberantasan korupsi dalam hal pemberian sanksi hukuman mati dan menimbulkan ketidakpastian hukum, merupakan pendapat yang tidak beralasan hukum.  Alasannya, disamping telah sesuai dengan tata cara pembentukan norma pidana yang mengacu pada asas-asas hukum pidana dan beberapa teori pidana, kata “nasional” telah memberi kepastian hukum dalam bentuk pemberatan hukuman pidana.

 

Sebelumnya, beberapa warga negara melayangkan uji materi Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor). Mereka, seorang dosen bernama Jupri (Pemohon I) dan dua mahasiswa yakni Ade Putri Lestari (Pemohon II) dan Oktav Dila Livia (Pemohon III). Mereka menganggap Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor terkait pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku korupsi ketika keadaan bencana alam nasional tidak memenuhi rasa keadilan. Sebab, jika penjelasan pasal itu ditafsirkan secara a contrario, kalau bukan bencana alam nasional berarti hukuman mati tidak bisa dijatuhkan.

 

“Ketika korupsi dilakukan ketika bencana alam saja tanpa ada penetapan bencana nasional oleh pemerintah seharusnya tetap dapat dijatuhkan hukuman mati,” ujar salah satu kuasa hukum Pemohoh, Victor Santoso Tandiasa dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Selasa (22/1/2019) lalu.

 

Menurutnya, tidak ditetapkannya status bencana alam nasional di Palu dan Donggala, Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor menjadi tidak dapat diterapkan. Padahal, tindak pidana korupsi termasuk jenis kejahatan luar biasa, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan. Apalagi jika hal tersebut dilakukan dalam upaya penanggulangan bencana alam, seperti kasus dugaan korupsi proyek pengadaan pipa high density polyethylene (HDPE) di daerah tersebut dan dugaan korupsi di beberapa proyek pembangungan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

 

Atas dasar itu, Pemohon meminta MK menyatakan kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku korupsi yang dilakukan saat bencana alam terlepas ditetapkan berstatus nasional atau tidak oleh pemerintah.  

Tags:

Berita Terkait