Pemerintah Harus Bereskan Aspek Hukum Sebelum Pindahkan Ibukota Negara
Berita

Pemerintah Harus Bereskan Aspek Hukum Sebelum Pindahkan Ibukota Negara

Menyangkut berbagai regulasi teknis dan visi jangka panjang pemindahan Ibukota negara.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Tugu Monas, Jakarta. Foto: RES
Tugu Monas, Jakarta. Foto: RES

Wacana pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke luar Pulau Jawa nampaknya akan benar-benar dilaksanakan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah mengumumkan secara resmi keputusan Presiden RI sebagai hasil Rapat Terbatas Kabinet akhir April lalu. Menanggapi keputusan tersebut, ahli hukum tata negara memberikan sejumlah catatan atas aspek hukum yang harus diselesaikan pemerintah.

“Sebenarnya ini masih tahap keputusan politik ya, belum keputusan hukum,” kata Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember kepada hukumonline, Kamis (2/5). Menurut Bayu, rencana pemindahan Ibukota negara baru akan masuk proses hukum ketika sudah disusun naskah rancangan undang-undang tentang Ibukota negara yang baru.

Bayu menjelaskan bahwa Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk menentukan di mana letak wilayah pusat pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, kewenangan ini juga dibatasi oleh Pasal 18B UUD 1945. Disebutkan bahwa pengaturan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa harus dengan undang-undang. Tentu saja termasuk pula di dalamnya Daerah Khusus Ibukota negara.

“Presiden harus membahas dengan DPR untuk membuat undang-undang tentang Ibukota negara yang baru,” Bayu menambahkan. Tidak hanya membahasnya bersama parlemen, Bayu mengingatkan bahwa Presiden harus juga meminta pandangan para pimpinan lembaga negara lainnya. Perlu diingat bahwa lembaga negara yang diakui dalam sistem hukum Indonesia tidak sebatas lingkup lembaga kepresidenan, lembaga parlemen, dan lembaga peradilan.

Ada banyak lembaga negara lainnya baik yang masih menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif kepresidenan maupun lembaga negara independen. Seluruh lembaga negara tersebut biasanya diatur dengan undang-undang sektoral dan ditetapkan berkedudukan di Ibukota negara. Jika “Lembaga-lembaga negara itu bukan dalam kuasa pemerintah. Kedudukan mereka sama. Presiden harus mengundang pimpinan seluruh lembaga negara, bikin satu forum konsultasi kesepakatan bersama,” ujarnya.

Pendapat Bayu dikuatkan oleh Fitra Arsil, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Persoalan pemindahan Ibukota negara akan sangat berkaitan dengan berbagai lembaga negara yang dirancang agar berada dalam satu wilayah dengan pemerintah pusat. Pengelolaan negara selama ini sangat berkaitan dengan kerja sama lintas lembaga negara, bukan hanya pemerintah yang terdiri dari Presiden dan para pembantunya. “Setidaknya parlemen harus ikut pindah. Dan ini juga berkaitan dengan anggaran yang harus disetujui DPR,” katanya.

Fitra menjelaskan perlu ada kajian soal kedudukan lembaga-lembaga negara tersebut. Bisa saja ada lembaga negara yang tidak harus ikut pindah ke Ibukota negara yang baru dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi fungsinya. “Pada umumnya kalau menjalankan fungsi pokok negara tentu harus ada di Ibukota negara,” ujar Fitra.

Pemindahan lembaga-lembaga tersebut pun tentunya akan dilakukan bertahap. Soal teknis regulasinya, Fitra menilai perlu ada semacam undang-undang khusus yang menganulir soal kedudukan lembaga-lembaga negara tersebut di Ibukota negara selama proses transisi tersebut.

Ada dua pasal yang menyinggung Ibukota negara dalam konstitusi. Pertama, pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota negara. Lalu, ada Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Selebihnya, hampir semua undang-undang sektoral lembaga negara mengatur bahwa kedudukan lembaga negara berada di Ibukota negara.

Visi Pemindahan Jauh Lebih Penting

Fitra mengatakan bahwa persoalan teknis pemindahan Ibukota negara bukan persoalan yang utama. Justru, visi jangka panjang dari pemindahan Ibukota negara yang harus bisa dijelaskan oleh pemerintah dengan sangat meyakinkan. “Detil teknis memang tidak bisa diremehkan, tapi soal gagasan besar apa dari pemindahan ini yang harus dijelaskan kepada rakyat, disepakati bersama parlemen,” ujarnya.

Fitra menjelaskan bahwa sepanjang sejarah ketatanegaraan, Indonesia pernah mengalami perpindahan Ibukota saat negara dalam keadaan bahaya. Oleh karena itu, tidak banyak gagasan yang menjadi alasan pemindahan saat itu selain dalam rangka mempertahankan kedaulatan. “Perpindahan kali ini tentu dengan terencana. Jangan sampai hanya menghindari masalah sesaat namun justru menghasilkan masalah yang lebih besar,” kata Fitra.

Momen pemindahan Ibukota negara dilihat Fitra harus dijadikan langkah untuk sambil mengeksekusi berbagai langkah maju pembangunan bangsa. “Jadi ada paradigma baru dengan Ibukota baru. Termasuk ini Jakarta akan dibuat seperti apa setelah ditinggalkan,” ia menambahkan.

Bappenas mengumumkan perkiraan biaya pemindahan Ibukota sebesar Rp323 triliun hingga Rp446 triliun. Namun Fitra memperkirakan biaya sebenarnya jauh lebih besar dari itu termasuk biaya imateril yang harus diperhitungkan pemerintah. “Ini akan menyerap energi bangsa yang sangat besar. Sehingga energi dan anggaran besar yang dihabiskan untuk pemindahan Ibukota negara kelak tidak sia-sia,” katanya.

(Baca juga: Jika Ibukota Negara Dipindah, Begini Implikasi Hukumnya).

Perlu diketahui, penamaan Daerah Khusus Ibukota pertama kali tertuang dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia (Penpres) No. 2 Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS No. 2 Tahun 1961. Dalam pertimbangannya, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibukota Negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan, dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional sesegera mungkin.

Tahun 1964, Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia Dengan Nama Jakarta. Undang-undang ini pun hanya berisi dua pasal yang menegaskan status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota serta masa berlaku surutnya dari 22 Juni 1964, yaitu sejak Presiden Soekarno mengumumkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.

Dalam bagian pertimbangan dan penjelasan umum UU No. 10 Tahun 1964 tertera bahwa penegasan ini diperlukan mengingat Jakarta telah termasyhur dan dikenal, serta kedudukannya yang, karena merupakan kota pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pusat penggerak segala kegiatan, serta merupakan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar ideologi Panca Sila keseluruh penjuru dunia.

Pada tahun 1990, Presiden Soeharto mencabut kedua UU tersebut dengan mengesahkan UU No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Dalam konsiderans disebutkan bahwa Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan dan peranan yang penting, baik dalam mendukung dan memperlancar penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia maupun dalam membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya bangsa Indonesia.

Saat reformasi 1998, Presiden Habibie mengubah kembali payung hukum DKI Jakarta melalui UU No. 34 Tahun 1999  tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Undang-undang ini mempertegas kekhususan Jakarta karena statusnya sebagai Ibukota Negara. Pergantian payung hukum Daerah Khusus Ibukota kembali terjadi saat masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan  UU No. 29 Tahun 2007  tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tags:

Berita Terkait