Pemerintah Finalisasi Aturan Pajak e-Commerce
Berita

Pemerintah Finalisasi Aturan Pajak e-Commerce

Pemungutan pajak diberlakukan kepada pelaku e-commerce yang memiliki aplikasi, dan bukan merupakan objek pajak baru karena hanya cara transaksinya saja yang berubah dari konvensional ke elektronik.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

Pemerintah tengah melakukan finalisasi aturan soal perdagangan secara elektronik (e-commerce), khususnya terkait tarif pajak yang akan diterapkan kepada pelaku e-commerce.

 

"Kami sudah selesaikan pembahasan antara kementerian/lembaga. Sekarang formulasi terakhir dari sisi PMK-nya," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani usai jumpa pers penggagalan penyelundupan 40 kilogram sabu-sabu di Aceh yang digelar di Kantor Pusat Bea Cukai, Jakarta, Jumat (19/1/2018) seperti dikutip Antara.

 

Pemerintah memang berjanji akan berlaku adil untuk menerapkan tarif pajak terhadap setiap transaksi elektronik (e-commerce), sehingga tidak ada gap antara pelaku usaha konvensional dan digital.

 

Sri Mulyani menyadari, ada masukan dari sejumlah pihak terkait aturan e-commerce ini agar pemerintah diminta tidak berat sebelah (even-handed).

 

"Beberapa masukan selama ini prinsipnya akan dilakukan even-handed. Artinya playing field-nya sama. Pajak yang berlaku di e-commerce dengan konvensional sama, terutama ini berhubungan dengan PPN (Pajak Pertambahan Nilai)," kata Sri Mulyani. Baca Juga: Kemendag dan Polri Sepakat Awasi Pelaku Kartel dan E-Commerce

 

Sementara itu, terkait Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM), pemerintah berencana menurunkan tarifnya dari sebelumnya 1 persen menjadi 0,5 persen untuk mendorong daya saing dengan produk-produk impor di era digital saat ini.

 

PPh Final untuk pajak UKM dikenakan pada wajib pajak pribadi dan badan yang memiliki omzet usaha kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun. "Kalau PPh, mayoritas dari supplier merchant itu kan UKM. Kami sedang usulkan RPP direvisi supaya tingkatnya diturunkan dari sekarang PPh Final 1 persen menjadi 0,5 persen. Mungkin threshold-nya juga diturunkan," lanjut Sri Mulyani.

 

Pemerintah sebelumnya juga telah menegaskan, pengenaan pajak terhadap transaksi elektronik akan lebih berkaitan dengan tata cara, bukan kepada pengenaan pajak jenis baru. Baca Juga: Menkeu Pastikan Pajak e-Commerce Tak Rugikan Wajib Pajak

 

Pemungutan pajak diberlakukan kepada pelaku e-commerce yang memiliki aplikasi, dan bukan merupakan objek pajak baru karena hanya cara transaksinya saja yang berubah dari konvensional ke elektronik.

 

Untuk metode pengenaan pajaknya sendiri, masih dalam proses kajian dan penyusunan karena Wajib Pajak (WP) yang terlibat dalam transaksi elektronik tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pengaturan pajak yang dikenakan juga disebut tidak akan jauh berbeda dengan transaksi yang berlaku pada jual beli secara konvensional.

 

"Mengenai mekanismenya, itu menggunakan KUP (Ketentuan Umum Perpajakan) sekarang siapa yang memungut, melaporkan, bagaimana prosesnya nanti kita lihat. Kalau sudah keluar nanti kami sampaikan," katanya.

 

Sebelumnya, Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) mencatat hal krusial yang mesti menjadi perhatian pemerintah adalah persoalan pajak. Soal pajak menjadi hot topic karena regulasi pajak selalu dinilai rumit terutama bagi pelaku e-commerce yang punya domisili di luar negara Indonesia. Kepala Bidang Pajak, Infrastruktur, dan Keamanan Siber idEA, Bima Laga berpendat ada dua isu menarik terkait pajak pertama insentif buat investor dan kedua perlakuan pajak untuk pelaku e-commerce lokal dan asing.

 

“Dari asosiasi sudah beberapa kali bicara sama DJP dan BKF terkait aturan apa yang pas dalam roadmap,” kata Bima pada 16 Agustus 2017 lalu.

 

Menurut Bima, isu yang mengemuka terkait hal tersebut adalah perlakuan pajak, di mana pelaku e-Commerce lokal diwajibkan patuh dengan aturan pajak di Indonesia seperti harus menggunakan badan hukum Indonesia namun untuk pelaku e-commerce asing aturan tersebut tidak bisa diimplementasikan. Selain itu, isu pajak yang terus menjadi concern idEA adalah terkait perlakuan PPN atas pemberian cuma-cuma jasa kena pajak bagi e-commerce.

 

Sebagai informasi, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-Commerce sempat menjadi perhatian pelaku e-Commerce terutama terkait aspek perpajakan PPN pada model bisnis classified ads. (Baca Juga: ‘Aturan Turunan’ Road Map e-Commerce Jangan Sampai Hambat Pelaku Usaha)  

 

Definisi classified ads berdasarkan SE-62/PJ/2013 adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang content (teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara classified ads.

 

Poin utama yang menjadi perhatian para pelaku e-Commerce adalah mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN atas pemberian jasa pada model bisnis classified ads yang tidak memungut bayaran atau gratis. Mereka berpendapat bahwa atas transaksi tersebut seharusnya DPP-nya adalah nol rupiah.

 

Padahal, pihak Ditjen Pajak berulang kali menjelaskan dalam hal pengiklan tidak perlu membayar (gratis) untuk memasang iklan di tempat yang disediakan oleh Pengelola Classified Ads, maka penyelenggara classified ads melakukan pemberian cuma-cuma kepada pengiklan yang terutang PPN, DPP untuk pemberian cuma-cuma JKP adalah penggantian setelah dikurangi laba kotor.

 

Pasal 4 ayat (1) huruf C UU PPN (UU No. 42 Tahun 2009), yaitu PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Hal ini dijelaskan lebih lanjut pada paragraf penjelasan bahwa termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.

 

Selain itu, Pasal 2 huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.03/2015 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dijelaskan bahwa untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor Sehingga DPP atas pemberian JKP cuma-cuma atau gratis bukanlah nol rupiah, melainkan sejumlah nilai penggantian setelah dikurangi laba kotor.

 

“PPN cuma-cuma kita berjuang dari tahun 2016. Yang terjadi, kita buat NA (naskah akademik) sudah kita kasih ke BKF. Dengan roadmap, ini bisa jadi perlakuan penyederhanaan pajak,” kata Bima. (ANT)

Tags:

Berita Terkait