Pemerintah Diminta Transparan dalam Penyusunan Aturan Baru Iuran BPJS Kesehatan
Berita

Pemerintah Diminta Transparan dalam Penyusunan Aturan Baru Iuran BPJS Kesehatan

Pemerintah diminta memberi akses seluas-luasnya kepada masyarakat dalam memberi masukan dan mendapatkan informasi atas aturan pengganti iuran BPJS Kesehatan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
BPJS Kesehatan. Foto: HOL
BPJS Kesehatan. Foto: HOL

Pasca-putusan Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada awal Maret lalu, saat ini belum ada aturan pengganti Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Ketiadaan regulasi ini dapat menyebabkan kebingungan bagi masyarakat yang menganggap seharusnya iuran jaminan kesehatan tersebut tidak lagi menggunakan tarif baru yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.

Nyatanya, BPJS Kesehatan masih memberlakukan tarif baru tersebut pasca-putusan MA. Atas kondisi tersebut, Pemerintah diminta transparan mengenai langkah-langkah untuk menindaklanjuti putusan MA mengenai iuran BPJS Kesehatan. Ini diperlukan untuk memberi kepastian hukum bagi masyarakat yang merasa kebingungan tarif iuran BPJS Kesehatan yang berlaku.

Advokat sekaligus perwakilan Komunitas Peduli BPJS Kesehatan, Johan Imanuel, meminta pemerintah dan BPJS Kesehatan transparan mengenai waktu perpres baru tersebut akan diterbitkan. Johan mengingatkan bahwa sesuai Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2011, pelaksanaan dari putusan uji materiil selambat-lambatnya adalah 90 hari.

Namun, hal tersebut bukan berarti pemerintah dan BPJS Kesehatan tidak transparan mengenai waktu penerbitan perpres baru tersebut untuk mengganti Perpres No. 75 tahun 2019, khususnya Pasal 34, yang dibatalkan mengenai kenaikan iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Johan merujuk Pasal 30 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden sehingga Rancangan Peraturan Presiden tidak ada salahnya diungkap juga ke Publik sebagaimana asas keterbukaan yang ditegaskan juga dalam Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 (sudah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019).

(Baca juga: Penjelasan Hukum Soal Polemik Iuran BPJS Kesehatan Pasca Putusan MA).

Berdasarkan rujukan pasal tadi, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. “Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan peraturan perundang-undangan," jelas Johan kepada hukumonline.

Menurutnya, penyusunan aturan pengganti tersebut juga harus melibatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat ini jelas diatur dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 yang menegaskan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan serta tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga rancangan perpres pengganti seharusnya juga dapat diakses oleh masyarakat merujuk Pasal 96 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 sehingga memudahkan masyarakat memberikan masukan secara lisan serta tulisan.

“Yang dibutuhkan oleh peserta PBPU saat ini adalah kepastian hukum terhadap pelaksanaan Putusan MA No. 7P/HUM/2020 yang membatalkan kenaikan iuran.  Sehingga apabila pemerintah dan BPJS Kesehatan terbuka mengenai kapan Perpres penggantinya akan diterbitkan maupun isi dari rancangan perpres tersebut maka hal tersebut akan memberikan ketenangan bagi Peserta PBPU khususnya dalam hal iuran yang telah dibayarkan,” jelas Johan.

(Baca juga: Alasan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan).

Dalam kesempatan sebelumnya, advokat dan perwakilan Komunitas Peduli BPJS Kesehatan, Fernando menyatakan pemerintah dan BPJS Kesehatan minimal harus mencari solusi untuk dua persoalan yaitu revisi Perpres No. 75 Tahun 2019 dan nasib iuran peserta BPJS Kesehatan kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang telah dibayar sejak putusan MA.

“Pemerintah harus mengambil langkah cepat terhadap putusan MA yang membatalkan perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kami dukung segala langkah pemerintah untuk evaluasi terhadap pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sesuai dengan permohonan hak uji materiil yang diajukan oleh KPCDI (Komunitas Pencuci Darah Indonesia) Nomor 7P/HUM/2020,” jelas Fernando.

Selain itu, dia juga adanya revisi Peraturan Pemerintah (Pp) No. 84 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan agar BPJS Kesehatan memiliki alternatif baru dalam langkah penyehatan keuangan.

Pihaknya juga memahami bahwa langkah yang akan diambil Pemerintah terkait penyesuaian iuran diatur dalam rangka penyehatan Keuangan Aset Jaminan Sosial Kesehatan dari BPJS Kesehatan itu sendiri. Saat ini, hanya ada tiga cara penyehatan keuangan yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan apabila kondisi keuangan tidak memenuhi ketentuan seperti yang tercantum dalam Pasal 37 PP No. 84 tahun 2015. Ketiga cara dimaksud adalah penyesuaian dana operasional, penyesuaian besaran iuran dan/atau penyesuaian manfaat.

Sehubungan iuran yang telah dibayarkan peserta sebelum putusan MA, Fernando merekomendasikan agar Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan  baru yang dapat menetapkan apakah akan dikembalikan atau menjadi deposit sehingga memberikan kepastian hukum bagi peserta dan masyarakat Indonesia. Kemudian, pemerintah juga harus transparan mengenai kondisi keuangan negara terkait iuran BPJS Kesehatan kepada publik UU No. 17 Tahun  2003 tentang Keuangan Negara.

“Transparansi tersebut harus disertai oleh proses akuntabilitas dengan merujuk sifat-sifat dimensi akuntabilitas yang baik jujur. Adapun prinsip transparansi yang dapat dijadikan acuan adalah menurut Humanitarian Forum Indonesia (HFI) ada beberapa Prinsip transparansi. Salah satunya ialah adanya informasi yang mudah di pahami dan diakses seperti dana, cara pelaksanaan, bentuk bantuan atau program ini harus dilakukan pemerintah dan BPJS Kesehatan,” jelas Fernando.

Seperti diketahui sebelumnya, MA telah membatalkan kenaikan tarif tersebut setelah mengabulkan uji materiil atau judicial review atas Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang telah berlaku sejak 1 Januari 2020 seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 75 Tahun 2019. Pasal itu memuat rincian kenaikan iuran BPJS Kesehatan iuran PBPU dan BP untuk kategori Kelas III dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Kemudian peserta Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 dan peserta Kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp160.000.

Seharunya, putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini berlaku sejak tanggal diputuskan pada 27 Februari 2020 atau tidak berlaku surut. Karena itu, masyarakat yang sudah membayar iuran sejak tanggal 1 Januari 2020 hingga sebelum ada putusan ini tetap mengacu Perpres No. 75 Tahun 2019.

Penjelasan BPJS Kesehatan

Sebelumnya, BPJS Kesehatan menyatakan akan mempelajari dan siap menjalankan Putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembatalan iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) untuk segmen PBPU yang sudah ditayangkan melalui website resmi Mahkamah Agung pada 31 Maret 2020. “BPJS Kesehatan telah mempelajari dan siap menjalankan Putusan MA tersebut. Saat ini Pemerintah dan Kementerian terkait dalam proses menindaklanjuti Putusan MA tersebut dan sedang disusun Perpres pengganti,” terang Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf dalam keterangan persnya, Kamis (2/4).

Iqbal menambahkan, hal ini dilakukan mengingat sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2011 Pasal 8 ayat (1); Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara, dan ayat (2); Dalam hal 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat  bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

“Melihat aturan di atas, tindak lanjut Putusan MA dapat dieksekusi oleh tergugat dalam kurun waktu 90 hari melalui aturan baru, atau apabila jika tidak terdapat aturan baru dalam kurun waktu tersebut, maka Pasal 34 Pepres No. 75 Tahun 2019 dianggap tidak memiliki kekuatan hukum atau dibatalkan. Intinya dalam waktu 90 hari ke depan setelah salinan keputusan diumumkan resmi, BPJS Kesehatan menunggu terbitnya Perpres pengganti. Saat ini sedang berproses,” kata Iqbal.

Dia menyampaikan pihaknya juga telah bersurat kepada Pemerintah dalam hal ini Sekretaris Negara untuk menetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan selanjutnya, dalam mengeksekusi putusan tersebut. “Masyarakat juga diharapkan tidak perlu khawatir, BPJS Kesehatan telah menghitung selisih kelebihan pembayaran iuran peserta segmen PBPU atau mandiri dan akan dikembalikan segera setelah ada aturan baru tersebut atau disesuaikan dengan arahan dari Pemerintah. Teknis pengembaliannya akan diatur lebih lanjut, antara lain kelebihan iuran tersebut akan menjadi iuran pada bulan berikutnya untuk peserta,” tambah Iqbal.

Tags:

Berita Terkait