Pemerintah Diminta Tekan Defisit Transaksi Berjalan
Berita

Pemerintah Diminta Tekan Defisit Transaksi Berjalan

Dengan cara mengeluarkan kebijakan jangka pendek, dikhawatirkan defisit transaksi berjalan ini picu terjadinya krisis ekonomi.

FAT
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Diminta Tekan Defisit Transaksi Berjalan
Hukumonline

Para ekonom Indonesia menyoroti current account deficit atau defisit transaksi berjalan yang terus terjadi. Bahkan, persoalan ini dikhawatirkan dapat memicu terjadinya krisis ekonomi. Hal tersebut diutarakan oleh Pengamat Ekonomi dari lembaga tangki pemikir, EC-Think Indonesia Aviliani.

Menurutnya, untuk menekan terjadinya defisit transaksi berjalan diperlukan kebijakan jangka pendek dari pemerintah. Ia khawatir terjadi krisis jika dalam kurun waktu empat bulan tak ada kebijakan jangka pendek untuk menangani defisit transaksi berjalan.

“Apabila current account deficit tetap besar tanpa ada kebijakan jangka pendek, maka empat bulan ke depan kita akan memasuki krisis,” kata Aviliani di Jakarta, Senin (2/12).

Salah satu kebijakan jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengimplementasikan kebijakan pengurangan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi bagi mobil pribadi hingga 50 persen. Menurut Aviliani, kebijakan ini akan efektif dalam menanggulangi membengkaknya defisit transaksi berjalan.

Bukan hanya itu, untuk menekan defisit transaksi berjalan diperlukan sikap tegas dari pemerintah terkait pengembangan energi baru terbarukan, seperti biodiesel. Menurut Aviliani, pengembangan energi baru terbarukan tersebut masih dimungkinkan dalam sisa waktu empat bulan ke depan.

Salah satu sumber utama terjadinya defisit transaksi berjalan selama ini adalah besarnya impor minyak. Ia berharap persoalan ini segera diatasi oleh pemerintah. “Current account deficit merupakan persoalan utama yang menyebabkan buruknya perekonomian kita, termasuk juga pelemahan rupiah,” katanya.

Hal senada diutarakan oleh Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Destry Damayanti. Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga lantaran dampak dari terjadinya current account deficit. Bahkan, pelemahan ini sempat menembus ke level Rp12 ribu per dolar AS.

Ia mengatakan, penyelesaian masalah defisit transaksi berjalan bukan hanya dari kebijakan moneter semata. Perlu ada kebijakan lain selain kebijakan moneter dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan serta mengembalikan rupiah pada level yang aman sehingga mampu mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia. Menurutnya, perlu kebijakan lain lantaran masalah defisit transaksi berjalan sudah masuk persoalan struktural.

“Kebijakan moneter saja tidak cukup. Kalau dulu ada defisit, BI Rate naik, lalu cepat normal. Kalau sekarang tidak hanya kebijakan moneter, tapi juga harus ada kebijakan sektor riil,” ujar Destry.

Kepala Ekonom CIMB Niaga Winang Budoyo mengatakan, membaiknya perekonomian global, terutama AS, Eropa dan Jepang merupakan potensi bagi perkembangan ekspor Indonesia. Hal ini dikarenakan ketiga wilayah tersebut merupakan negara mitra ekspor budaya Indonesia. Untuk itu, Indonesia harus lebih memperkuat ekspor di bidang manufaktur.

“Karena pembelinya sudah mulai ada lagi. Sejak 2008 tiarap, sekarang sudah mulai bangun,” ujar Winang.

Atas dasar itu, lanjut Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) Umar Juoro, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang menyeimbangkan antara nilai ekspor dan impor. Menurutnya, keseimbangan ini bisa menekan defisit neraca transaksi berjalan.

“Ujung-ujungnya identitas itu, ekspor harus seimbang dengan impornya,” katanya.

Menurutnya, salah satu faktor pelemahan rupah akibat besarnya defisit transaksi berjalan yang disebabkan oleh tingginya impor minyak. Meski begitu, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi beberapa waktu lalu dinilai Umar sebagai langkah yang baik.

Sayangnya, kata Umar, yang terjadi impor minyak masih tinggi dan permintaan terhadap BBM tak berkurang. “Jadi, harus ada ketegasan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan menekan impor. Atau, lebih baik seluruh mobil pribadi pakai BBM nonsubsidi,” pungkasnya.

Tags: