Pemerintah Diminta Serahkan Draf RUU Cipta Lapangan Kerja ke DPR
Berita

Pemerintah Diminta Serahkan Draf RUU Cipta Lapangan Kerja ke DPR

Untuk menghindari terulangnya polemik di masyarakat.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Perbincangan mengenai Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ramai menjadi perhatian publik. Hal ini tidak lepas dari beredarnya draf RUU melalui media sosial serta ramainya tuntutan penolakan serikat buruh dan pekerja. Tidak hanya itu, bahkan akademisi dan aktivis lingkungan pun turut mengkritisi rencana RUU tersebut karena penyusunannya dianggap tidak transparan.

 

Pemerintah juga berkali-kali menjanjikan akan menyerahkan rancangan aturan tersebut kepada DPR RI, namun sampai saat ini hal tersebut belum terlaksana. Keseriusan pemerintah menepati janjinya pun dipertanyakan.

 

Peneliti bidang industri, perdagangan dan investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho meminta pemerintah segera menyerahkan draf rancangan aturan tersebut kepada DPR untuk dibahas lebih lanjut. Hal ini diperlukan untuk menghindari terulangnya polemik di masyarakat.

 

“Harus segera diserahkan kepada DPR agar selanjutnya dibahas secara bersama dan uji publik,” jelas Andry di Jakarta, Kamis (6/2).

 

Menurut Andry, garis besar Omnibus Law untuk membuka lebar pintu investasi seperti yang disampaikan pemerintah memiliki risiko ekonomi. Dia mengkhawatirkan Omnibus Law ini hanya mendorong masuk investasi yang tidak berkualitas dan prioritas.

 

“Kalau Omnibus Law ini hanya memancing investasi tanpa memetakan kebutuhan sektor apa saja yang diinginkan di dalam negeri maka tidak ada manfaat. Investasi tidak berkualitas itu seperti sektor dengan value added rendah dan investasi atau kegiatan usaha yang sudah banyak pemainnya di dalam negeri. Pemerintah tidak menjelaskan ingin mengejar investasi sektor apa yang jadi prioritas,” kata Andry.

 

(Baca: Dua Lembaga Ini Kesulitan Akses Naskah RUU Cipta Lapangan Kerja)

 

Sehingga, dia menambahkan, pemerintah seharusnya memetakan jenis sektor usaha prioritas dalam Omnibus Law. Menurutnya, terdapat sektor usaha yang dapat diprioritaskan pemerintah seperti industri manufaktur dan teknologi. Hal tersebut disebabkan kedua sektor tersebut memiliki serapan tenaga kerja tinggi dan sedang dibutuhkan saat ini.

 

Selain itu, dia juga mengkritik kebijakan pemerintah pusat yang meminta pemerintah daerah membuka lebar bagi investasi asing. Menurutnya, hal ini akan berakibat negatif bagi perekonomian daerah. “Presiden sendiri mengatakan kalau bisa daerah menutup mata kalau ada investasi asing masuk. Saya rasa ini bukan preseden baik bagi iklim investasi Indonesia,” jelasnya.

 

Dalam kesempatan sama, Peneliti bidang Makroekonomi dan Finansial Indef, Abdul Manap Pulungan menyatakan dampak Omnibus Law terhadap investasi tidak dapat terlihat dalam waktu singkat. Menurutnya, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menyusun regulasi juga harus diperkuat. Pasalnya, persoalan regulasi selama ini sering sekali terjadi perubahan dan tumpang tindih sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha.

 

“Omnibus Law tidak akan cepat mendatangkan investor karena regulasi cenderung cepat sekali berubah. Misalnya saja dilihat dari penerapan OSS (one single submission) yang hanya bagus di pusat tapi tidak berjalan di daerah,” jelas Manap.

 

Dalam kesempatan terpisah, juru bicara Presiden Fadjroel Rachman meminta masyarakat agar lebih percaya draf "omnibus law" yang diserahkan pemerintah ke DPR dibanding dokumen lain yang beredar soal undang-undang tersebut. "Kita baru bisa memperbincangkan (draf omnibus law) langsung ke publik adalah yang sudah diserahkan ke DPR, sedangkan yang sampai ke publik umumnya terkait klaster kepentingan tertentu," kata Fadjroel di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Rabu (5/1).

 

Seperti diketahui sejumlah serikat buruh ditambah unsur masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menentang Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang dinilai sebagai alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. FRI menilai keseluruhan proses yang sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha. Selain itu, substansi RUU Cilaka Indonesia menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda.

 

Fadjroel pun menegaskan tidak ada juga pengurangan hak pelaku usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). "Izinkan kami membantah tidak terjadi misalnya pengurangan pesangon, tidak terjadi pengurangan upah minimum, tidak mengurangi atau menghilangkan hak bagi pekerja yang hamil, ada hal-hal yang berkembang di masyarakat tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam 'omnibus law'," kata Fadjroel.

 

Presiden Jokowi sudah menandatangani Surat Presiden (Surpres) RUU Omnibus Law Perpajakan, sehingga masih kurang Surpres untuk Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Ibu Kota Negara."Masalahnya saat ini masih disinkronisasi antara undang-undang karena omnibus law ini melibatkan puluhan UU, tapi semua hal yang diperdebatkan akan tuntas dijawab Menko Perekonomian saat draf ini diserahkan ke DPR," kata Fadjroel.

 

Namun Fadjroel menegaskan bahwa semua masukan masyarakat tetap ditampung. "Masukan semua diterima, kami harap semua pihak yang terdampak dari kebijakan ini akan ikut dalam pembahasan. KSP (Kantor Staf Presiden) terus menerus berhubungan dengan buruh, Kemenko Perekonomian dan Kementerian Tenaga Kerja juga aktif berkomunikasi, kami harap saat penyerahan ke DPR akan lebih banyak lagi pihak terlibat dalam pembahasannya," kata Fadjroel.

 

Terkait masih rendahnya pemahaman masyarakat mengenai omnibus law, Fadjroel mengaku pihaknya akan melakukan komunikasi intensif ke masyarakat. "Engagement communication dicoba terus, ada 26 serikat buruh yang terus menerus dicoba untuk dikomunikasikan," kata Fadjroel.

 

Untuk memuluskan pembahasan omnibus law, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law yang beranggotakan 127 orang yang terdiri atas perwakilan dari kementerian atau lembaga terkait, pengusaha, akademisi, kepala daerah, dan tokoh masyarakat. Presiden Jokowi dalam rapat terbatas 15 Januari 2020 lalu menargetkan agar pembahasan omnibus law di DPR dapat dilakukan hanya dalam 100 hari kerja.

 

Tags:

Berita Terkait