Pemerintah Diminta Selektif Berikan Pajak Sektor Migas
Berita

Pemerintah Diminta Selektif Berikan Pajak Sektor Migas

“Pemerintah ngotot, padahal penerimaan tidak terlalu signifikan.”

FNH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Diminta Selektif Berikan Pajak Sektor Migas
Hukumonline
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan aturan baru mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Minyak dan Gas (PBB Migas). Aturan baru tersebut tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2013 yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2014.

Dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Senin (30/12) lalu, DJP menyatakan regulasi ini adalah perubahan aturan PBB Migas. Pada aturan baru, objek pajak yang dikenakan PBB Migas dan Panas Bumi atau lebih dikenal dengan PBB Migas diatur berdasarkan “kawasan”. Artinya, objek pajak yang dikenakan PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan yang berada dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan/atau panas bumi.

Dalam aturan sebelumnya, objek PBB Migas didasarkan pada konsep “wilayah kerja”. Objek PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam wilayah kerja atau sejenisnya terkait pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan/atau panas bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dan/atau pengusaha panas bumi.

Selain itu, juga ditegaskan mengenai “areal lainnya” yaitu areal yang tidak dikenakan PBB Migas. Areal lainnya yang dimaksud adalah areal tanah perairan pedalaman dan/atau perairan lepas pantai di dalam wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang tidak dikenakan PBB, dan/atau yang secara  nyata tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak (WP) untuk kegiatan usaha pertambangan minyak bumi dan gas bumi aau panas bumi.

“Dengan diterbitkan Perdirjen ini, maka kepastian mengenai objek pajak yang dikenakan PBB Migas semakin jelas.  Sehingga, tidak ada lagi polemik mengenai objek pajak yang dikenakan PBB Migas atau objek pajak yang tidak dikenai PBB Migas,” kata Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak P2Humas DJP, Chandra Budi.

Menanggapi hal tersebut, pengamat pertambangan Marwan Batubara mengaku belum memahami secara detail terkait aturan tersebut. Tetapi dari pemahaman awal, Marwan menilai konsep “kawasan” dan “wilayah kerja” perlu diperjelas terutama terkait luas dan tarif PBB Migas tersebut.

“Mana yang lebih luas dan berapa tarifnya. Jangan-jangan kalau “Kawasan” itu lebih luas dan tarif nya lebih tinggi lagi,” kata Marwan ketika dihubungi hukumonline, Jumat (03/1).

Jika konsep “kawasan” benar-benar menerapkan tarif PBB Migas yang lebih tinggi, Marwan khawatir bisa menghambat investasi sektor migas di Indonesia. Apalagi sektor migas, terutama untuk eksplorasi juga sudah dikenakan pajak retribusi. “Sektor migas butuh insentif,” ungkapnya.

Menurut Marwan, dalam kondisi tengah membutuhkan cadangan tambahan migas, pemerintah seharusnya lebih selektif mengeluarkan pengenaan pajak. Tidak memberatkan sektor migas dengan pajak yang memberatkan dan menghambat investasi untuk masuk ke dalam negeri. Ia pun mengatakan, pengenaan PBB Migas tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan terhadap penerimaan pajak.

Terkait pajak eksplorasi, Marwan mengatakan pemerintah tidak seharusnya memberikan kelonggaran kepada investor. Namun, pemberian pajak eksplorasi dikenakan jika proses tersebut sudah memberikan hasil yang pasti. “Sosialisasi saya kurang tahu, dan kenapa pemerintah masih ngotot padahal tidak terlalu signifikan penerimaannya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait