Pemerintah Diminta Perhatikan Prinsip Keadilan dan Berkelanjutan Terkait Transformasi Energi
Terbaru

Pemerintah Diminta Perhatikan Prinsip Keadilan dan Berkelanjutan Terkait Transformasi Energi

Perpres 112/2022 dinilai menimbulkan berbagai persoalan yang kontradiksi dengan upaya menuju pada target Net Zero Emission pada 2060.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik Tenaga Uap (Perpres 112/2022) pada 13 September lalu. Pemerintah berharap Perpres 112/2022 sebagai awal era pembangunan pembangkit listrik rendah emisi dan ramah lingkungan sekaligus pelarangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dengan tidak mengganggu pembangkit-pembangkit yang sudah berjalan.

Namun regulasi ini mendapatkan kritik dari pemerhati lingkungan. Perpres 112/2022 ini dinilai belum mencerminkan kepentingan lingkungan yang berkeadilan dan masih mengakomodir kepentingan korporasi. Kebijakan transisi energi yang ditawarkan pemerintah dalam Perpres 112/2022 dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) disebut memberikan solusi palsu dan tidak menyentuh langsung ke persoalan lingkungan yang selama ini merugikan masyarakat.

“Proses transisi ini dibajak oleh beberapa usulan yang tidak memperbaiki problem utama kerusakan alam.  Tidak berkeadilan untuk masyarakat. Di Indonesia ada upaya yang sama untuk membajak ide transisi energi dengan memakai strategi yang tidak berdampak karena tidak menurunkan efek rumah kaca, teknologi yang digunakan belum memadai, dan muncul lagi soal nuklir serta produk turunan batu bara. Ini jadi masalah,” kata perwakilan WALHI, Fanny Tri Jambore dalam sebuah webinar, Kamis (20/10).

Baca Juga:

Fanny berharap masyarakat dapat terlibat langsung dalam transisi energi yang lebih demokratis, bukan didorong oleh korporasi dan pemerintah. Dalam artian masyarakat bisa menentukan sendiri pembangkit listrik yang tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan.

Sementara itu, perwakilan dari berbagai LSM yang tergabung dalam Koalisi Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov Birry menyampaikan beberapa hal yang harus dipertimbangkan pemerintah terkait nilai dan prinsip yang adil dan berkelanjutan guna mencapai transisi energi.

Pertama, akuntabel, transparan, dan partisipatif. Pemerintah harus memastikan distribusi informasi secara transparan mengenai proses transisi energi dan pengelolaan pendanaan, termasuk JETP, baik sumber maupun pengalokasian kepada seluruh pemangku kepentingan, khususnya rakyat korban/terdampak baik perempuan, anak, sekelompok difabel dan masyarakat rentan.

“Prinsip akuntabilitas harus ditegakkan dan tidak memberikan toleransi (zero tolerance) terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kekerasan seksual,” kata Ahmad.

Kedua, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM. Seluruh solusi transisi energi tidak boleh membuat masalah baru, dan perlu menerapkan prinsip-prinsip perlindungan HAM termasuk hak asasi perempuan dan anak-anak serta perlindungan pembela HAM dan kelestarian lingkungan, termasuk penerapan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.

Ketiga, keadilan ekologis. Ahmad mengatakan kemitraan yang dikembangkan dalam transisi energi antara pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak lain seperti negara G7, lembaga keuangan internasional, harus berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dengan tidak menghilangkan tanggung jawab penurunan emisi karbon dan tanggung jawab loss and damage setiap pihak, menerapkan prinsip common but differentiated responsibility.

“Proses energi harus memasukkan prasyarat yang memastikan bahwa badan perusahaan termasuk juga BUMN bertanggung jawab atas pemulihan lingkungan dan sosial dengan menggunakan perspektif GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial),” tambahnya.

Keempat, keadilan ekonomi. Proses transisi harus energi harus memastikan tersedianya akses, keterjangkauan, ketersediaan, dan kepemilikan energi terbarukan dan sumber-sumber ekonomi lainnya bagi dan oleh masyarakat termasuk perempuan, anak, dan masyarakat rentan serta kelompok minoritas.

Selain itu pemerintah harus menjamin keterjangkauan energi secara demokratis dan terdesentralisasi, terciptanya iklim ekonomi yang berpihak pada energi terbarukan yang adil dan berkelanjutan, serta pemerintah harus menjamin keterjangkauan akes dan penguatan ekonomi dan energi yang berkelanjutan, terutama bagi daerah/wilayah yang selama ini bergantung dari sumberdaya.

Dan kelima, transformative. Pemerintah harus melakukan reformasi menyeluruh kebijakan dan tata kelola energi dengan aksi yang sejalan dengan Persetujuan Paris untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata global sampai 1,5 derajat Celcius, mendorong transformasi pembangunan ekonomi menyeluruh dari ekonomi ekstraktif dan sentralistik ke ekonomi regenerative dan demokratis.

“Memastikan transformasi kebijakan dengan mengedepankan lapangan kerja hijau yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat,” pungkasnya.

Untuk diketahui Perpres 112/2022 dinilai menimbulkan berbagai persoalan yang kontradiksi dengan upaya menuju pada target Net Zero Emission pada 2060. Misalnya saja dalam Pasal 3 angka 4 Perpres 112/2022 dinilai memberikan ruang bagi PLTU beroperasi sampai dengan tahun 2050 di kawasan industri. Hal ini sangat kontradiktif dengan upaya mencapai transisi energi yang lebih bersih. Padahal selama ini pemerintah mendorong industri yang lebih ramah lingkungan seperti ekosistem mobil listrik dan baterai, tapi sumber listrik untuk produksi masih bersumber dari batubara.

Selain itu kehadiran Perpres 112/2022 juga berorientasi pada percepatan pengakhiran masa operasional PLTU dibandingkan tahapan bauran Energi Listrik yang memiliki peta jalan secara jelas.  Hal ini merujuk pada Pasal 3 angka 6 yang terdapat frasa PLTU dapat digantikan dengan pembangkit Energi Terbarukan dengan mempertimbangkan kondisi pasokan dan permintaan atau supply dan demand.

Tags:

Berita Terkait