Pemerintah Diminta Mengkaji Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis
Utama

Pemerintah Diminta Mengkaji Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis

Kemenkes harus membuka ruang komunikasi dan masukan dari para pakar medis agar mengetahui urgensi dan opsi penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan atau penyembuhan penyakit. Dengan adanya proses revisi UU 35/2009 di DPR bersama pemerintah memungkinkan legalisasi ganja untuk kepentingan media bergantung dari politik hukum negara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Aksi nekat seorang ibu bernama Santi Warastuti di Car Free Day meminta ganja medis dilegalkan untuk pengobatan sang anak yang mengidap lumpuh otak viral di media sosial. Tindakan Santi menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dan parlemen. Alhasil, pemerintah diminta melakukan kajian mendalam terkait konsumsi ganja untuk kepentingan medis.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo meminta pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan riset tanaman ganja untuk kebutuhan/kepentingan medis. Kemenkes perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan melakukan kajian atau riset secara komprehensif, khususnya terkait tanaman ganja untuk kebutuhan medis. Mulai dari aspek kesehatan, sosial, ekonomi, regulasi dan dampak yang kemungkinan ditimbulkan dari kebijakan tersebut.

“Mendukung pemerintah untuk memulai kajian tentang manfaat tanaman ganja untuk kepentingan medis. Nantinya (hasil kajian, red) dapat ditentukan apakah program ganja untuk kebutuhan medis benar-benar diperlukan di Indonesia atau masih dapat menggunakan obat-obatan lain,” ujar Bambang Soesatyo dalam keterangannya, Jumat (1/7/2022).

Baca Juga:

Ketua DPR periode 2014-2019 mengatakan Kemenkes mesti membuka ruang komunikasi dan masukan dari para pakar medis agar mengetahui urgensi dan opsi penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan atau penyembuhan penyakit. “Agar benar-benar dapat dinyatakan aman untuk kepentingan medis,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Terpisah, anggota Dewan Perrwakilan Daerah (DPD) Fadhil Rahmi menilai Indonesia memungkinkan melegalkan ganja secara terbatas hanya bagi kebutuhan medis. Menurutnya, di beberapa negara maju telah melegalkan ganja untuk kebutuhan medis, seperti Thailand yang memberikan dua pohon ganja di masing-masing rumah. Demikian pula, dengan negara di Amerika Selatan, Italia, dan Kanada. “Jadi (Indonesia, red) sangat memungkinkan. Kita perlu mengkaji kemungkinan legalisasi ganja untuk medis,” ujarnya.

Nantinya, hasil kajian menjadi bahan merumuskan pengecualian pihak-pihak tertentu yang dapat menanam atau mengkonsumsi ganja untuk kepentingan medis dengan pengawasan ketat. Selain kajian mendalam nantinya diperlukan aturan ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan. Selama ini politik hukum negara, penggunaan tanaman ganja untuk kepentingan medis terganjal UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebab, tanaman ganja masuk dalam kategori narkotika golongan satu yang bila memiliki dan mengkomsumsinya dapat dipidana.

Namun, dengan adanya proses revisi UU 35/2009 di DPR bersama pemerintah memungkinkan diubahnya aturan tersebut, bergantung dari politik hukum negara nantinya. “Sebagai legislator, kalau revisi ini kemudian diajukan dalam Prolegnas, kami siap membahas. Namun mungkin perlu diskusi yang panjang,” lanjutnya.

Senator asal Aceh itu berpendapat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) perlu dimintakan saran dan masukan soal legalisasi ganja hanya untuk kebutuhan medis. “Ini tidak berarti ganja dapat bebas ditanam dan dikomsumsi, tapi hanya untuk kepentingan medis. Ada aturan dan poin poin khusus yang perlu disepakati,” sarannya.

Sebagaimana diketahui, wacana ganja untuk kebutuhan medis kembali mencuat setelah sosok seorang ibu bernama Santi Warastuti menjadi sorotan usai unggahan foto mengenai aksinya dalam Car Free Day (CFD) Bundaran HI Jakarta pada Minggu (26/6/2022) viral di media sosial.  Melalui akun Twitter pribadinya, penyanyi Andien Aisyah mengunggah foto Santi yang membawa poster besar bertuliskan "Tolong, anakku butuh ganja medis" di tengah keramaian warga.

Dalam aksi tersebut, Santi terlihat didampingi seorang pria paruh baya bersama seorang anak yang tergolek lemah di stroller. Rupanya, anak itu adalah Pika, buah hati Santi dan suaminya yang mengidap cerebral palsy atau gangguan yang mempengaruhi kemampuan otot, gerakan, hingga koordinasi tubuh seseorang.  

Setelah ditelisik, aksi tersebut bertujuan mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) segera memutuskan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dimohonkan. Santi bersama suaminya Sunarta dan anaknya Pika bertandang dari Yogyakarta ke Jakarta untuk menyampaikan surat harapan ke MK terkait hal tersebut (legalisasi ganja untuk kepentingan medis).

Sebelumnya, sejumlah ibu dari pasien celebral palsy (kelainan gerakan pada bagian tubuh) serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat melayangkan uji materi Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut. Pemohonnya yakni Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI).

Erasmus Abraham selaku kuasa hukum para pemohon menerangkan tiga orang pemohon perseorangan merupakan para ibu dari anak yang menderita celebral palsy. Dwi Pertiwi, salah seorang ibu yang menjadi pemohon, terungkap pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam.

Tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi pemohon perkara ini. “Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon I untuk mendapat pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak pemohon,” ujar Erasmus dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Rabu (16/12/2020) lalu.

Para pemohon berpandangan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selanjutnya, dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, jelas disebutkan narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin konstitusi.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.”

Tags:

Berita Terkait