Pemerintah Diminta Laksanakan Putusan Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Utama

Pemerintah Diminta Laksanakan Putusan Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Dengan dibatalkannya kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Perpres No. 75 Tahun 2019, berarti kembali pada ketentuan tarif iuran sebelumnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Majelis Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen per 1 Januari 2020. Dalam putusannya, MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 itu.

 

"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pencuci Darah Indonesia dan menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menolak permohonan pemohon untuk selebihnya," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi Hukumonline, Senin (9/3/2020) malam. Baca Juga: Pasien Cuci Darah Darah Minta MA Batalkan Perpres Kenaikan Iuran JKN  

 

Saat ditanya dasar pertimbangan membatalkan aturan itu, Andi mengaku belum mengetahui salinan putusannya karena belum dipublikasi dalam laman direktorat putusan MA.

 

Permohonan bernomor 7P/HUM/2020 ini diputuskan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim Agung Supandi beranggotakan Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Intinya, menurut Majelis, Pasal 34 ayat (1) dan (2) PP 75/2019 bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H, dan Pasal 34 UUD 1945.

 

Selain itu, bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN); Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (UU BPJS); dan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

 

Dengan dibatalkannya aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini, berarti kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur Pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018.    

 

Berikut besaran iuran peserta BPJS mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP):

Pasal 34 Perpres 75/2019

Pasal 34 Perpres 82/2018

Rp42.000,00 untuk pelayanan Kelas III

Rp25.500,00 untuk pelayanan Kelas III

RpRp110.000,00 untuk pelayanan Kelas II

Rp51.000,00 untuk pelayanan Kelas II

Rp160.000,00 untuk pelayanan Kelas I

Rp80.000,00 untuk pelayanan Kelas I

 

Sementara itu, Kuasa Hukum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Rusdianto Matulatuwa merasa bersyukur atas dibatalkannya kenaikan iuran BPJS oleh MA. Sebab, keputusan menaikkan iuran BPJS itu adalah kebijakan yang sulit diubah.Tapi, pihaknya berpikir saat itu bahwa kenaikan BPJS memang melanggar kaidah-kaidah di BPJS Kesehatan itu sendiri.

 

“Dengan dibatalkannya iuran bulanan BPJS dalam PP No. 75 Tahun 2019 ini, berarti kembali pada ketentuan tarif iuran sebelumnya. Jangan lagi pemerintah menunda-nunda pelaksanaan putusan MA ini. Segeralah secepatnya dilaksanakan putusan ini,” kata Rusdi saat dihubungi, Senin (9/3/2020).

 

Dia menjelaskan pemohon sudah melakukan prosedur hukum yang berlaku. Dia meminta pemerintah jangan melakukan intrik-intrik untuk tidak melaksanakan putusan MA ini karena KPCDI sangat terbebani dengan iuran ini dan mereka harus tetap melakukan cuci darah.

 

Dalam dalil permohonannya, Rusdianto Matulatuwa mengatakan pasien cuci darah dan ginjal umumnya warga negara yang perekonomiannya menengah ke bawah (peserta BPJS mandiri) yang belum terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sebab, selama hidupnya sudah bertahun-tahun mereka tidak produktif untuk mencari nafkah.

 

“Aturan ini sangat memberatkan, kami menganggap Perpres ini perlu dievaluasi lagi dan dibatalkan,” kata Rusdianto.

 

Dia menerangkan jaminan sosial yang mencakup penyelenggaraan jaminan kesehatan yang terjangkau merupakan hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya dijamin pemerintah sesuai amanat UUD Tahun 1945. Menurutnya, kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warga negaranya sesuai amanat UU ternyata telah beralih menjadi kewajiban warga negara guna menjamin kesehatannya sendiri dan kesehatan warga negara lainnya yang ditanggung secara gotong royong.

 

Perangkat peraturan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lebih menekankan hak warga negara berubah menjadi kewajiban warga negara kepada negara, dimulai saat  membayar iuran kepesertaan yang nilainya ditentukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa memperhatikan kemampuan warga negaranya.

 

“Ini pembayaran iuran BPJS oleh peserta mandiri (seolah) seperti membayar kewajiban pajak, dimana bila warga negara tidak mampu membayar (menunggak) akan dikenakan denda dan sanksi lain akibat ketidakmampuannya membayar iuran kepesertaan,” kritiknya.

 

Menurut Rusdi, Perpres No. 75 Tahun 2019 sebagai kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen pada 2020 tanpa dasar yang jelas dan perhitungan yang logis. Jika alasannya hanya untuk menutupi kerugian yang terjadi akibat kesalahan dan kelalaian dalam tata kelola penyelenggaraan BPJS. “Kenapa masyarakat kelas menengah ke bawah yang dibebani yang justru masih memiliki daya beli rendah?”

 

“Seharusnya pemerintah bertindak lebih bijak, dimana anggaran kesehatan yang mendapat porsi sebesar minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dapat lebih diprioritaskan untuk pelayanan kesehatan masyarakat guna mengurangi beban rakyat.”

 

Karena itu, KPCDI meminta agar MA menyatakan Perpres No. 75 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1) dan (3) jo Pasal 34 ayat (1), (2) dan (3) UUD Tahun 1945; Pasal 2, Pasal 4 (huruf b, c, d dan e), Pasal 17 ayat (3) UU SJSN; Pasal 2, 3, 4 ( huruf b, c, d dan e) UU BPJS; Pasal 4 jo Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 UU Kesehatan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Tags:

Berita Terkait