Dia khawatir kejar tayang pemerintah dalam membuat aturan turunan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, hanya menjadikan kelompok buruh sebagai alat legitimasi semata alias stempel. Baginya buruh enggan menjadi alat legitimasi kekuasaan dengan beralibi demi kepentingan buruh.
Sama halnya ketika sikap DPR yang menjanjikan buruh bakal dilibatkan dalam pembahasan. Faktanya, Badan Legislasi (Baleg) hanya “kejar setoran” dengan menyerap aspirasi kelompok pekerja. Ironisnya, aspirasi kelompok pekerja tak diakomodir seluruhnya. Karenanya, kata Iqbal, buruh merasa dikhianati.
“Padahal kami sudah menyerahkan draf sandingan usulan buruh, tetapi masukan yang kami sampaikan banyak yang tidak terakomodir. Tidak benar apa yang dikatakan DPR bahwa 80 persen usulan buruh sudah diadopsi dalam UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Iqbal melanjutkan, terdapat empat langkah yang bakal dilakukan buruh untuk terus menolak UU Cipta Kerja. Pertama, bakal mempersiapkan aksi lanjutan secara terukur, terarah, dan konsitusional. Tak hanya aksi demonstrasi di daerah, namun juga aksi secara nasional. Kedua, mempersiapkan strategi dalam menguji UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusional secara formil maupun materil.
Ketiga, meminta legislative review ke DPR. Begitu pula meminta executive review ke Pemerintah. Keempat, melakukan sosialisasi atau kampanye tentang isi dan alasan penolakan omnibus law UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan oleh buruh di daerah-daerah tentunya.