Pemerintah Diminta Buat SE Baru yang Menghapus Wajib Tes PCR bagi Penumpang Pesawat
Terbaru

Pemerintah Diminta Buat SE Baru yang Menghapus Wajib Tes PCR bagi Penumpang Pesawat

Diharapkan berdampak terhadap penambahan jumlah penumpang pengguna moda transportasi udara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Penerapan Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan No.93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas SE Menhub No.88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi masih menuai polemik. Sebab, kewajiban tes Polymerase Chain Reaction (PCR) bagi penumpang pesawat masih dirasa memberatkan masyarakat. Pemerintah perlu menganulir aturan tersebut atau menanggung biaya tes PCR alias gratis bagi masyarakat.

“Meminta pemerintah untuk mempertimbangkan secara bijak aturan kewajiban PCR agar tidak memberatkan masyarakat,” ujar Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo melalui keterangan tertulis, Selasa (2/11/2021).

Dia melihat kewajiban tes PCR menjadi syarat perjalanan penumpang udara dirasa masih memberatkan masyarakat di tengah penurunan kasus penyebaran Covid-19. Karenanya, Bamsoet begitu biasa disapa, meminta pemerintah dapat mempertimbangkan ulang aturan kewajiban tes PCR mengganti dengan tes antigen sebagai syarat perjalanan di semua moda transportasi.

Pasalnya, tes antigen dinilai memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi dalam mendeteksi virus Covid-19. Selain itu, biaya tes rapit antigen cenderung lebih terjangkau masyarakat ketimbang tarif tes PCR. Dia menyarankan kepentingan penggunaan tes PCR hanya untuk diagnosis Covid-19, bukan syarat perjalanan menggunakan pesawat. “Jangan sampai tes PCR bisa menjadi kepentingan bisnis,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhajir Effendy mengatakan bagi perjalanan udara  untuk wilayah Jawa dan Bali tak lagi menjadikan tes PCR sebagai syarat, tapi cukup menggunakan tes antigen. Perubahan kebijakan tersebut setelah menggelar rapat rutin terkait penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kemarin. (Baca Juga: Kalangan Parlemen Minta Syarat Perjalanan Udara Wajib PCR Dikaji Ulang)

Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menilai kebijakan penghapusan PCR bagi penumpang pesawat langkah tepat. Menurutnya, melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat berdampak terhadap jumlah pengguna moda transportasi pesawat udara. Dengan begitu, industri penerbangan tetap dapat bertahan di tengah gelombang pandemi saat ini.

Namun demikian, kebijakan penghapusan kewajiban PCR tersebut hendaklah segera disusul dengan dibuatnya surat edarannya. Sebab, sampai saat ini aturan penghapusan syarat PCR tersebut belum bisa diterapkan karena belum surat edarannya. Petugas di bandara belum bisa melaksanakan sebelum ada aturan tertulisnya dibuat.

“Aturan itu belum efektif. Ada beberapa teman yang cerita bahwa surat edarannya belum ada. Jadi, hari ini masih tetap PCR seperti sebelumnya,” kata dia.

Sejalan dengan itu, pemerintah diminta untuk menyediakan tempat testing antigen di bandara dan tempat-tempat pemberangkatan penumpang lewat jalur darat. Antigen, kata Saleh, tentu bakal semakin dibutuhkan. Karena itu, petugas dan laboratorium yang melaksanakan test antigen harus diperbanyak. Selain itu, harga tes antigen pun harus ditetapkan secara jelas dan pasti.  

“Jangan sampai nanti malah harganya naik. Konsekuensi peralihan PCR ke antigen, bisa saja berimbas pada kenaikan harga. Ini yang harus diantisipasi pemerintah,” kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) di DPR itu.

Kurang sosialisasi

Anggota Komisi V DPR, Suryadi Jaya Purnama berpandangan adanya kontroversi terhadap kebijakan kewajiban tes PCR atau rapit antigen membuktikan kurang sosialisasinya pemerintah ke masyarakat. Masyarakat bingung terhadap aturan yang dibuat karena selama ini kebijakan ini sering berubah-ubah.

Selain itu, pemerintah juga perlu menjelaskan dasar menentukan perjalanan jarak jauh didefinisikan sebagai perjalanan dengan jarak minimal 250 Km atau waktu jarakn tempuh minimal 4 jam yang kemudian membutuhkan perlakuan berbeda dengan perjalanan lain yang lebih dekat. Masyarakat pun bertanya soal bagaimana cara memeriksa jauhnya perjalanan seseorang. Sebab, banyak orang yang berdomisili tidak sesuai KTP. Alhasil, pemeriksaan KTP atau Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) tidak bisa dijadikan acuan jauhnya perjalanan seseorang.

“Oleh sebab itu, pemerintah agar selalu melakukan sosialisasi setiap aturan yang dibuat ke masyarakat.”

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu meminta pemerintah tak membuat bingung masyarakat dengan aturan yang dibuat. Aturan yang membingungkan agar dihapus dan diganti dengan menyediakan fasilitas layanan secara masif dan gratis. “Hal ini seperti yang dilakukan pemerintah Singapura yang memberikan alat tes Covid-19 secara gratis kepada semua orang agar masyarakat bisa melakukan tes secara mandiri,” katanya.

Tags:

Berita Terkait