Pemerintah Diingatkan Moratorium Hukuman Mati
Utama

Pemerintah Diingatkan Moratorium Hukuman Mati

Praktik hukuman mati di era pemerintahan Jokowi tertinggi. Pemerintah dan DPR kembali diminta untuk menghapus hukuman mati karena bertentangan dengan konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Gufron menegaskan konstitusi menjamin hak setiap orang untuk hidup, begitu pula kovenan internasional tentang Hak Sipil Politik (ICCPR) yang diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005. Ketentuan serupa juga ditegaskan dalam UU HAM. Alih-alih melaksanakan amanat tersebut, pemerintah malah mempertahankan dan menambah aturan yang mengancam hak untuk hidup, misalnya RUU KUHP dan UU Terorisme.

 

Atas dasar itu, Gufron mengusulkan pemerintah dan DPR untuk menghapus hukuman mati karena bertentangan dengan konstitusi. Hukuman mati juga tidak selaras dengan sistem pemidanaan modern dimana hukum pidana ditujukan sebagai koreksi, bukan penghukuman. Dalih yang menyebut hukuman mati agar menimbulkan efek jera menurut Gufron tidak tepat.

 

“Sangat penting bagi Presiden Jokowi untuk menghapus hukuman mati, setidaknya menerbitkan kebijakan tertulis yang intinya moratorium (penangguhan) praktik hukuman mati,” usulnya.

 

Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto mengingatkan jangan sampai pemerintahan Presiden Jokowi dijuluki “juara praktik hukuman mati” karena jumlah terpidana mati yang dieksekusi dan vonis mati yang dijatuhkan kepada terdakwa relatif paling banyak daripada pemerintahan sebelumnya sejak reformasi bergulir.

 

“Presiden Jokowi harus melakukan pembenahan menyeluruh terhadap proses penegakan hukum di kepolisian dan kejaksaan.”  

 

Ardi menghitung tak sedikit kasus yang dijatuhi vonis mati terindikasi mengalami unfair trial. Misalnya, Zainal Abidin, terpidana mati kasus narkotika, berkas PK-nya terselip sampai 10 tahun, akibatnya dia dieksekusi mati pada April 2015. “Presiden perlu menerbitkan moratorium hukuman mati secara tertulis. Ini menunjukan komitmen pemerintah terhadap penghormatan dan pemenuhan HAM,” tegasnya.

 

Peneliti senior Imparsial Bhatara Ibnu Reza menilai Indonesia tidak pernah melakukan moratorium hukuman mati secara tertulis, tapi penundaan eksekusi terpidana mati. Kendati RUU KUHP mengatur pidana mati sebagai alternatif, bukan pidana pokok, tapi Bhatara melihat ketentuan ini masih membuka peluang bagi hakim untuk menjatuhkan vonis mati.

Tags:

Berita Terkait