Pemerintah Diingatkan Buat Aturan Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Terbaru

Pemerintah Diingatkan Buat Aturan Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Agar ada mekanisme dan persyaratan terukur yang jelas soal pengisian kursi penjabat tanpa mengabaikan prinsip demokrasi sesuai amanat Putusan MK No.67/PUU-XIX/2021.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi calon kepala daerah
Ilustrasi calon kepala daerah

Penunjukan dan pelantikan para penjabat kepala daerah, gubernur, walikota/bupati mulai dilakukan Kementerian Dalam Negeri terhadap sejumlah kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 hingga penyelenggaraan pilkada serentak pada 2024. Sejumlah kalangan memprotes mekanisme dan transparansi pengangkatan penjabat kepala daerah terutama dari kalangan TNI-Polri yang masih aktif.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan penunjukan penjabat kepala daerah dari kalangan anggota TNI/Polri aktif tak perlu diperdebatkan. Seperti halnya penunjukan Kepala Badan Intilijen Negara (BIN) Daerah Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin menjadi penjabat Bupati Seram Bagian Barat yang masih berdinas aktif.

Namun demikian, Dasco menilai mekanisme dan penunjukan penjabat kepala daerah bakal menjadi pembahasan DPR, khususnya menjadi ranah kewenangan pembahasan di Komisi II. “Nanti kita minta komisi teknis untuk mengkaji terlebih dahulu,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam keterangannya, Jumat (27/5/2022).

Anggota Komisi VIII Achmad menilai keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menetapkan sejumlah penjabat kepala daerah dari unsur TNI-Polri aktif harus dievaluasi agar menjadi lebih transparan. Dorongan tersebut merespon usulan gubernur yang tidak diakomodir Mendagri. Alhasil, menimbulkan polemik penundaan pelantikan penjabat kepala daerah.

“Perlu dievaluasi kembali kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri tentang penetapan penjabat untuk bupati dan walikota yang tidak mengakomodir usulan dari gubernur,” ujarnya.

Baca Juga:

Achmad berpendapat dalam UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada), Mendagri memiliki hak prerogratif dalam penunjukan penjabat kepala daerah tanpa usulan maupun di luar usulan dari gubernur. Dalam menjalankan hak prerogatif itu, Mendagri semestinya tak hanya semata berprinsip pada kewenangan atau peraturan yang ada, tapi juga mempertimbangkan moral, etika politik, dan kearifan lokal.

Dengan demikian kebijakan yang diambil melalui hak prerogratif tersebut tidak menimbulkan kegaduhan di daerah. Dia meminta Mendagri perlu melakukan pemantapan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam proses penetapan calon penjabat bupati/walikota agar asas sentralisasi dan desentralisasi dapat seiring dan sejalan dalam menjalankan pemerintahan daerah.

"Transparansi dari berbagai pihak baik dari gubernur maupun pihak Mendagri diperlukan. Sehingga seorang penjabat bupati dan walikota setelah dilantik siap bekerja di wilayahnya dan tidak disibukkan dengan isu-isu proses pengangkatannya," tuturnya.

Agar tidak terjadi polemik dan terkesan tarik menarik kepentingan, Gubernur harus lebih transparan dalam menyodorkan nama yang diusulkan ke publik. Sebab, tugas kepala daerah cukup berat sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat, dan sosial politik di daerahnya.

Apalagi situasi dan kondisi dua tahun belakangan terakhir dengan pandemi Covid-19 yang berujung terpuruknya perekonomian nasional. Termasuk terganggunya kesehatan masyarakat yang berdampak terhadap sektor-sektor lain. “Ini tantangan yang dihadapi daerah, khususnya penjabat bupati dan walikota,” ujar politisi Partai Demokrat itu.

Sementara pimpinan Rumah Demokrasi, Ramdansyah berpandangan penetapan penjabat kepala daerah semestinya dilakukan berdasarkan aturan teknis yang dibuat secara cermat sesuai asas umum pemerintahan yang baik serta mengacu pada prinsip demokrasi. Aturan teknis mesti bersifat transparan dan akuntabel yang bakal memastikan penetapan penjabat kepala daerah tidak merugikan hak kebebasan sipil dan tak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dia mengingatkan aturan teknis penetapan penjabat kepala daerah perlu segera dibuat pemerintah sebagai amanat Putusan MK No.67/PUU-XIX/2021. Menurutnya, pertimbangan hukum MK menyebut pemerintah perlu memperhatikan agar menerbitkan aturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016. Hal ini agar terdapat mekanisme dan persyaratan terukur yang jelas soal pengisian kursi penjabat kepala daerah tanpa mengabaikan prinsip demokrasi.

“Dengan tidak adanya peraturan teknis, maka Pasal 1 ayat (1) UU 8/2015 yang menyebutkan penjabat kepala daerah merupakan pegawai negeri sipil yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bakal menjadi multiinterpretasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait