Pemerintah Diharapkan Menunda Reformasi Birokrasi
Berita

Pemerintah Diharapkan Menunda Reformasi Birokrasi

Pemerintah harus mengkaji dulu sistem reformasi. Remunerasi diberikan setelah ada peningkatan kinerja.

Inu
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Diharapkan Menunda Reformasi Birokrasi
Hukumonline

Pemerintah diharapkan menghentikan sementara (moratorium) reformasi birokrasi. Selanjutnya, selama setahun, pemerintah mengkaji sistem reformasi itu yang dilakukan bersama dengan peningkatan kinerja di semua instansi.

 

"Instansi yang menunjukkan peningkatan dan perbaikan kinerja, pada mereka remunerasi besar diberikan," ujar pengamat ekonomi Rizal Ramli dalam sebuah program bincang-bincang radio berjaringan Trijaya, di Jakarta, Sabtu (3/4).

 

Menurut mantan menteri keuangan era Presiden Megawati ini, dari hasil perbaikan dan peningkatan kinerja tersebut, tentu ada penghematan anggaran negara. Penghematan dapat menjadi sumber pemberian remunerasi.

 

Dia mengkritik, kebijakan remorfasi birokrasi saat ini hanya kosmetik belaka. "Faktanya, kebijakan ini hanya ingin menaikkan gaji pegawai negeri semata yang menggunakan utang luar negeri."

 

Rizal menyayangkan pegawai Kementerian Keuangan yang didahulukan untuk mendapat remunerasi tinggi. Seharusnya, lanjut Rizal, aparat TNI dan Polri, para tenaga medis yang ada di daerah-daerah, serta para pendidik yang jauh dari keramaian harus didahulukan mendapat gaji besar. "Mereka wakil pemerintah sesungguhnya untuk memberikan pelayanan pada masyarakat, namun jauh dari perhatian atasannya," ungkapnya.

 

Pengamat perpajakan Tarmidzi Taridi pada kesempatan sama menyatakan sudah sepantasnya Kemenkeu, terutama Direktorat Jenderal Pajak didahulukan dalam reformasi birokrasi dan perbaikan remunerasi. "Meskipun gaji yang diberikan juga jangan terlalu tinggi seperti Gayus H Tambunan yang golongan IIIA mendapat Rp12 juta per bulan."

 

Mengingat, lanjutnya, kekuasaan Ditjen Pajak dan personilnya cukup besar. "Jadi, pengawasan di Ditjen Pajak tidak berjalan," sambung Tarmidzi. Hal itu dibuktikan dengan kasus Gayus. Dia juga yakin masih banyak pegawai pajak berperilaku sama dengan Gayus.

 

Menurutnya, sudah saatnya Ditjen Pajak melahirkan kode etik baru bagi pegawainya. Karena, yang kini ada hanya mengatur pegawai kantor pajak bagian muka saja (front office).

 

Ketua KADIN bidang Energi Poempida Hidayatulloh yang juga menjadi narasumber dalam acara itu mengutarakan, pegawai pajak seperti Gayus menjadi malaikat bagi pengusaha.

 

Hal itu terjadi, karena kekuasaan besar yang dimiliki aparat pajak ditambah dengan peraturan perpajakan yang abu-abu, amat memojokkan wajib pajak. Karena itu, apabila ada sengketa dengan wajib pajak perusahaan, maka jasa serupa Gayus banyak menolong mereka dari sisi waktu, kepastian, dan biaya.

 

"Jika peraturan jelas, pengusaha tak gentar masuk ke pengadilan pajak," tegas Poempida.

 

Sedangkan anggota Komisi XI DPR Achsanul Qosasih menyampaikan dari sisi kinerja, Ditjen Pajak memang patut diacungi jempol. Seperti, tercapainya target perolehan pajak Rp600 triliun, lalu ada kebijakan sunset policy, serta bertambahnya jumlah wajib pajak.

 

"Namun, dari sisi etika, ternyata tak punya tampilan sama," papar kader Partai Demokrat ini.

 

Oleh sebab itu, dia mengutarakan dalam masa sidang berikutnya, Menkeu Sri Mulyani beserta jajarannya diminta untuk menjelaskan kondisi Ditjen Pajak. "Sekaligus mengagendakan untuk merevisi UU pajak saat ini yang masih banyak area abu-abu," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait