Pemerintah Didesak Ambil Alih Penunggak Royalti
Berita

Pemerintah Didesak Ambil Alih Penunggak Royalti

CBC mendesak pemerintah untuk menjadikan sejumlah perusahaan batu bara yang menunggak royalti untuk dijadikan BUMN. Sementara Depkeu menegaskan tak tertutup kemungkinan jumlah pengusaha yang dicekal bakal bertambah.

Sut/M-5
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Didesak Ambil Alih Penunggak Royalti
Hukumonline

 

Seperti terjadi pada Adaro, kata Deni. Menurutnya Adaro telah melakukan transfer of pricing sehingga penjualannya berkurang Rp10 triliun. Imbasnya royalti yang diterima negara berkurang sebesar 13,5% x Rp10 triliun atau sebesar Rp1,35 triliun. Berarti tunggakan royalti Adaro selain seperti tabel diatas harus ditambah lagi sebesar Rp1,35 triliun. 

 

Deni mengatakan pencekalan terhadap pemilik dan manajemen perusahaan pemegang kuasa batu bara itu tidaklah cukup, karena hal itu belum menimbulkan efek jera.

 

Makanya dia mendesak pemerintah untuk melakukan audit investigasi secara menyeluruh terhadap seluruh perusahaan pemegang kuasa batu bara khususnya terhadap keenam perusahaan perusahaan batu bara yang telah menunggak pembayaran royaltinya.

 

Jika dalam audit investigasi ditemukan –bahwa selain mereka menunggak royalti terhadap negara mereka juga melakukan manipulasi produksi dan atau melakukan transfer of pricing– maka, menurutnya, pemerintah harus menghentikan seluruh kegiatan produksinya dan segera mengambil alih perusahaan tersebut menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ini biar adil, pada saat yang sama pemerintah bisa lebih disegani, tegasnya.

 

Pengambilalihan Adaro menjadi BUMN dan BUMD, kata Deni, merupakan bentuk nyata pemerintah untuk menertibkan bisnis batu bara dan sekaligus membuat efek jera kepada perusaahaan pemegang kuasa batu bara yang membangkang dan membohongi pemerintah. Esensinya, ini adalah bentuk kebohongan nyata perusahaan-perusahaan tambang batu bara terhadap rakyat, tukas Deni.

 

Gara-gara PP 144/2000

Sebelumnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Departemen Keuangan Hadiyanto mengatakan tak tertutup kemungkinan pengusaha batu bara yang dicekal akan bertambah. Pasalnya, menurut dia, masih ada sejumlah perusahaan yang belum membayar royalti. Kita lihat saja perkembangannya, tidak tertutup  kemungkinan akan bertambah, ujar Hadiyanto akhir pekan lalu.

 

Hadiyanto menambahkan, pihaknya tak akan memberikan keringanan kepada pengusaha batu bara yang menunggak royalti. Padahal, kata dia, pihaknya sudah mengeluarkan surat paksa kepada enam debitor tersebut sejak 28 Agustus 2007. Namun, tetap saja, keenam debitor tersebut tidak membayarnya.

 

Bukan tanpa alasan para debitor tersebut menolak membayar royalti. Hal ini lantaran ulah pemerintah sendiri yang menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam pasal 2e disebutkan, batu bara merupakan objek barang bukan kena pajak. Akibatnya produsen baru bara selama lebih dari lima tahun (2000-2006) tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya, dan perusahaan tidak dapat lagi meminta pengembalian PPN atas perolehan barang kena pajak/jasa kena pajak dengan cara restitusi PPN melalui Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan.

 

Selain itu, para kontraktor batu bara tersebut menyesalkan sikap pemerintah yang tidak melaksanakan salah satu butir kesepakatan dalam Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Generasi I. Berdasarkan hal itu, kata salah satu pengusaha batu bara yang kena cekal Jeffrey Mulyono, kontraktor batu bara menahan pembayaran royalti dengan alasan sebagai bentuk kompensasi reimbursement PPN, dan dilandaskan pada pasal 1425, 1426, 1427 dan 1429 KUHPerdata mengenai perjumpaan utang-piutang/kompensasi. Ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan salah satu pihak (pemerintah maupun pengusaha), tandas mantan Presiden Direktur PT Berau Coal yang sekarang menjabat posisi yang sama di PT Arya Citra Mineconsult ini.

Presiden Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri menyesalkan tindakan sejumlah pengusaha batu bara yang menunggak pembayaran royalti alias Dana Hasil Produksi Batu Bara (DHPB). Padahal, menurutnya, saat ini bisnis emas hitam itu sangat menguntungkan mengingat tingginya harga batu bara dunia. Sehingga banyak perusaahan swasta batu bara yang mempunyai untung besar. Bahkan sebagian mereka juga ada yang melakukan transfer of pricing (alih harga, red) untuk menghindari  besarnya royalti dan pajak, ujar Deni di Jakarta, Minggu (10/8).

 

Salah satu perusahaan yang disorot Deni adalah PT Adaro Indonesia. Ia menyesalkan tindakan Badan Pengawas Pasar Modal Indonesia dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang meloloskan salah satu produsen batu bara terbesar di negeri ini untuk melantai di PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Padalah, kata dia, masih banyak permasalahan yang membelit Adaro. Salah satunya belum membayar royalti. 

 

Seperti diketahui, dari data yang dilansir Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun Departemen Keuangan, ada enam perusahaan yang menunggak royalti sejak tahun 2001 hingga 2006 dengan total tunggakan mencapai Rp864,07 miliar dan AS$330,20 juta.

 

Jumlah Utang Dana Hasil Produksi Batu Bara

(DHPB) atau Royalti

 

Nama persahaan                                Dalam Rupiah Dalam dolar AS

                                                            (Rp miliar)                  (AS$ Juta)

PT ADARO INDONESIA                          131,7                           85,001

PT KIDECO JAYA AGUNG                       448,09                         30,51

PT KALTIM PRIMA COAL                        0,00                             115,6

PT KENDILO COAL INDONESIA             0,00                             6,64

PT ARUTMIN INDONESIA                       0,00                             68,6

PT BERAU COAL                                    284,2                           23,8    

Total                                                    864,07                        330,20

 

Keterangan: Jumlah utang belum termasuk biaya administrasi pengurusan piutang negara sebesar 10% yang merupakan PNBP

Sumber: Depkeu

 

Tunggakan tersebut dengan asumsi bahwa jumlah volume batu bara yang diproduksi sama dengan yang dicatat dalam pembukuan. Atau harga batu bara yang  dijual  sama  dengan harga pasar. Umumnya perusahaan batu bara di Indonesia banyak yang tidak mempunyai itikad baik, mereka umumnya mengecilkan pencatatan volume produksi yang sebenarnya, atau mengecilkan harga jual dari harga pasar, papar Deni.

Halaman Selanjutnya:
Tags: