Pemerintah dan DPR Didesak Masuk Pembahasan Revisi UU ITE
Utama

Pemerintah dan DPR Didesak Masuk Pembahasan Revisi UU ITE

Walau sudah direvisi tahun 2016 dan pemerintah telah menerbitkan SKB 3 Menteri tentang Pedoman Implementasi Pasal tertentu dalam UU ITE, tetap saja masih banyak masyarakat sipil yang mengalami kriminalisasi menggunakan UU ITE.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Kanan – kiri: Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana, Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas, dan Advokat Publik LBH Apik M Daerobi. Foto: Ady
Kanan – kiri: Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana, Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas, dan Advokat Publik LBH Apik M Daerobi. Foto: Ady

Revisi terhadap UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) sudah masuk daftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 dengan nomor urut 29. Masalahnya, pembahasan terhadap Revisi UU 19/2016 belum juga terlaksana, kendatipun di awal pemerintah sudah membulatkan tekadnya memperbaharui UU 19/2016. Koalisi Masyarakat Sipil pun mendesak DPR dan pemerintah agar segera bergerak melakukan pembahasan

Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indoneosia (YLBHI) Arif Maulana, menilai revisi 19/2016 amatlah penting sebagaimana pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu menyebut revisi UU ITE penting dilakukan jika dianggap multitafsir dan rentan mengkriminalkan warga. Alih-alih merevisi UU 19/2016 pemerintah malah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi Pasal Tertentu dalam UU 19/2016.

Tapi setelah SKB itu terbit, koalisi mencatat jumlah masyarakat yang dikriminalisasi menggunakan UU ITE masih terjadi. Melansir data Safenet, Arif mencatat dari 84 kasus pemidanaan terhadap masyarakat sipil 64 kasus diantaranya menggunakan UU 19/2016. Sementara data Amnesty International mencatat, ada 332 orang dituduh melanggar pasal dalam UU 19/2016 yang multitafsir.

“Semua kasus kriminalisasi itu terjadi justru setelah SKB terbit,” katanya dalam konferensi pers, Senin (13/03/2023).

Baca juga:

Ditambah indeks demokrasi di Indonesia setiap tahun terus turun, di mana salah satu indikatornya adalah kebebasan sipil. Ukurannya bagaimana masyarakat bebas berpendapat, dan berekspresi termasuk melayangkan kritik terhadap pemerintahan. Indeks demokrasi yang semakin terpuruk itu tak hanya terjadi di ranah luring tapi juga daring. Dia menilai, UU 19/2016 menjadi salah satu regulasi yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

“Oleh karena itu sudah tidak bisa ditawar lagi, UU ITE harus segera dibenahi,” ujarnya.

Mantan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu menerangkan, kasus terakhir yakni aktivis HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang dijerat menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 tentang pencemaran nama baik atau fitnah. Padahal perkara ini bermula dari hasil riset penempatan militer di Intan Jaya Papua. Data riset dan penelitian yang digunakan Fatia-Haris dalam kegiatan diskusi secara daring itu ternyata juga tidak lepas dari kriminalisasi. Padahal salah satu ketentuan SKB 3 Menteri itu menegaskan hasil riset dan fakta tidak bisa dijerat pasal pencemaran nama baik.

Koalisi berharap, pemerintah dan DPR tak sekedar merevisi UU 19/2016 dengan mengubah pasal untuk kepentingan penguasa, tapi harus memastikan dan menjamin tegaknya demokrasi, HAM, dan negara hukum. Kemudian revisi UU 19/2016 harus sinergi dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang baru terbit. Seperti UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU No.27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, dan UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP.

Pengaturan revisi UU 19/2016 ke depannya harus menjamin tidak adanya praktik kriminalisasi terhadap korban, tidak multitafsir, dan melindungi hak-hak rakyat, bukan para pejabat dan penguasa seperti UU ITE saat ini. Proses revisi di DPR harus melibatkan lintas Komisi tak hanya Komisi I. Tujuannya, agar revisi UU ITE memiliki perspektif lebih lengkap. Kemudian pembahasannya melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Hapus semua pasal bermasalah yang rentan mengkriminalisasi masyarakat.

Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas, mengatakan revisi UU 19/2016 juga penting untuk menjamin kebebasan pers. Selama ini UU 19/2016 tak hanya menjerat kalangan aktivis, tapi juga jurnalis terutama yang menggunakan platform daring dan media sosial. Dalam 2 tahun terakhir, setidaknya AJI Indonesia mencatat ada 4 jurnalis divonis bersalah melanggar UU 19/2016, karena mengkritik pejabat publik terkait isu korupsi, kebijakan publik, kasus agraria, dan lainnya. Selama ini kerja-kerja jurnalistik dilindungi UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, tapi UU 19/2016 banyak digunakan pejabat dan pihak tertentu untuk membungkam jurnalis yang kritis.

Walau SKB Menteri Soal Pedoman Implementasi Pasal Tertentu dalam UU ITE menegaskan aktivitas jurnalistik dikecualikan dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik tapi praktiknya, kriminalisasi masih masa terjadi. Ika menjelaskan, setelah SKB terbit AJI Indonesia mengadvokasi kasus jurnalis di Aceh yang dijerat pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 agar dihentikan kasusnya, tapi tidak dikabulkan Polda Aceh.

“Selain 4 jurnalis yang dipenjara karena UU ITE, masih banyak jurnalis yang dilaporkan menggunakan UU ITE,” urainya.

Advokat Publik LBH Apik, M Daerobi, menyoroti ketentuan UU ITE yang kerap membungkam korban kekerasan dan pendamping. LBH Apik mencatat tahun 2021 kasus kekerasan berbasis gender secara online (KBGO) meningkat signifikan, yang digunakan kala itu pasal 27 ayat (1) UU ITE, tapi dari banyak kasus yang bisa diterima laporannnya di kepolisian hanya 25 kasus dan 2 kasus yang sampai berproses di pengadilan.

“Sedikitnya jumlah kasus yang dilaporkan ke polisi karena korban terancam dikriminalkan (menggunakan UU ITE,-red) jadi korban enggan melapor,” ujarnya.

Walau telah terbit UU TPKS tapi Daerobi melihat praktiknya aparat masih ragu dalam menangani laporan KBGO apakah penanganannya menggunakan UU  12/2022, UU 27/2022, dan UU 1/2023 menjadi momentum yang tepat untuk merevisi UU ITE secara optimal. Karenanya menjadi penting mendorong DPR dan pemerintah agar segera masuk dalam forum pembahasan Revisi UU 19/2016.

Tags:

Berita Terkait