Pemerintah dan DPR Bahas Ratifikasi Konvensi Kejahatan Transnasional
Berita

Pemerintah dan DPR Bahas Ratifikasi Konvensi Kejahatan Transnasional

Pemerintah enggan membawa perselisihan akibat perbedaan tafsir dan penerapan isi Konvensi ke Mahkamah Internasional.

Fat
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 35 ayat (2) Konvensi Palermo

Setiap sengketa antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai penafsiran atau pelaksanaan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi dalam waktu yang sepatutnya wajib, atas permintaan salah satu Negara-Negara Pihak, diselesaikan melalui arbitrasi. Apabila, enam bulan setelah disepakati organisasi arbitrasi, salah satu Negara-Negara Pihak dapat melimpahkan sengketa kepada Mahkamah Internasional melalui permintaan sesuai dengan Statuta Mahkamah.

 

Lewat pernyataan reservation Indonesia menyatakan tidak tunduk kepada pasal tersebut. Indonesia tidak terikat pada pasal 35 ayat (2), ujar Andi Matalatta.

 

Apabila terjadi perselisihan dua atau tiga negara, Indonesia menginginkan ada kesepakatan negara-negara bersengketa terlebih dahulu baru. Hanya berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa, tegas Andi.

 

Kesiapan

Di mata anggota Komisi I DPR, Abdilah Toha, Pemerintah malah lamban dalam merespon ratifikasi Konvensi Palermo. Kejahatan transnasional terus bertambah dan semakin canggih. Seharusnya, tambah Abdillah, Pemerintah tidak perlu keberatan terhadap pasal 35 ayat (2) Konvensi. Tidak ada hal yang perlu ditakutkan mengenai penyelesaian sengketa dalam RUU tersebut.

 

Anggota DPR dari Fraksi PAN itu mengatakan tidak ada gunanya meratifikasi tanpa langkah persiapan dan kesiapan hukum. Bukan hanya aparatur, tetapi juga regulasi di dalam negeri yang mendukung pemberantasan kejahatan transnasional terorganisir. Kuncinya di dalam negeri kita, harus punya perangkat hukum yang disesuaikan, di luar negeri itu harus konsekuen, jangan satu negeri terlaksana sedangkan negara lain tidak, supaya ada bantuan dari negara maju dan negara berkembang agar bisa dilaksanakan secara efektif, katanya.

 

Pakar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia berhak meminta pengecualian jika ada sengketa antara negara anggota yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Jika terhadap interpretasi Konvensi, maka Indonesia akan mengecualikan bahwa pasal tersebut tidak diberlakukan. Jadi ini bukan automatic  jurisdiction, ujarnya.

 

Jurisdiksi dimaksud merupakan satu keharusan. Jika ada perbedaan penafsiran atau pelaksanaan, maka negara yang punya masalah dengan Indonesia bisa langsung ke Mahkamah Internasional. Namun, lewat reservation, Indonesia tidak mau terikat pada jurisdiksi itu. Sebab, karena Indonesia punya kedaulatan. Kalaupun misalnya kita masih mau pergi ke Mahkamah Internasional, harus kita sendiri yang menentukan, bukan karena Konvensi yang menentukan, ujarnya saat dihubungi hukumonline.

 

Menurut Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, yang dilakukan Indonesia tidak melanggar prinsip-prinsip International Court of Justice (ICJ), karena ICJ sama dengan arbitrase. Dalam arbitrase harus ada kesepakatan dari beberapa pihak dahulu.

 

Tags: