Pemerintah Berpotensi Bawa Kebijakan Sawit Uni Eropa ke WTO
Berita

Pemerintah Berpotensi Bawa Kebijakan Sawit Uni Eropa ke WTO

Duta Besar Uni Eropa (UE) menyatakan kesiapan UE jika Indonesia mengajukan gugatan terkait perselisihan dan diskriminasi produk minyak sawit Indonesia oleh kawasan negara tersebut.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia Vincent Guerend menyatakan kesiapan UE jika Indonesia mengajukan gugatan terkait perselisihan dan diskriminasi produk minyak sawit Indonesia oleh kawasan negara tersebut melalui WTO.

 

"Kami percaya di mana pun di dunia, jika ada perselisihan dagang, itu harus diselesaikan dengan cara yang tepat yaitu WTO. Jadi saya pikir ini cara yang tepat untuk mengatasi perselisihan," kata Vincent usai menghadiri Press Briefing Diskriminasi Sawit di Kementerian Luar Negeri Jakarta, Rabu (20/3).

 

Vincent mengatakan bahwa UE memahami pentingnya industri minyak kelapa sawit di Indonesia, terutama dalam menyerap tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan. Namun demikian, UE juga menjadi pasar ekspor ke-2 bagi Indonesia dan kawasan negara tersebut merupakan pasar terbuka bagi negara lain, seperti India dan Tiongkok terkait komoditas kelapa sawit.

 

Ia menegaskan bahwa dalam skema peraturan UE terbaru, hanya menekankan penghentian minyak sawit sebagai bahan bakar nabati, bukan untuk penggunaan lain seperti pada makanan dan kosmetik.

 

(Baca Juga: Ekspor Sawit dan Turunannya Disederhanakan)

 

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendukung dan siap berjuang bersama pemerintah di berbagai forum internasional agar produk minyak sawit (CPO) Indonesia ditempatkan setara dengan minyak nabati lain di pasar Uni Eropa (UE).

 

Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono menilai sejak awal, UE tidak punya niat baik terkait rancangan aturan "Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Direcyive II" yang diajukan pada 13 Maret 2019.

 

"Sebelumnya, UE berjanji memberikan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memberikan masukan hingga 17 Maret, namun secara sepihak menyetujui sendiri kebijakannya pada 13 Maret," kata Mukti melalui keterangan resmi di Jakarta, Rabu (20/3).

Tags:

Berita Terkait