Pemerintah Belum Satu Suara Menerapkan Cukai Minuman Berpemanis
Utama

Pemerintah Belum Satu Suara Menerapkan Cukai Minuman Berpemanis

Kementerian Kesehatan sepakat pembatasan konsumsi Gula, Garam, dan Lemak dilakukan antara lain melalui penerapan cukai. Kementerian Perindustrian menyebut langkah itu tak efektif. Pembatasan GGL sebagaimana dimandatkan UU Kesehatan bakal diatur lebih rinci melalui peraturan pelaksana.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dirjen Industri Argo Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika (ketiga dari kiri) dan perwakilan dari kementerian kesehatan maupun BPOM saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IX di Komplek Gedung Parlemen, Senin (1/7/2024). Foto: Tangkapan layar youtube
Dirjen Industri Argo Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika (ketiga dari kiri) dan perwakilan dari kementerian kesehatan maupun BPOM saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IX di Komplek Gedung Parlemen, Senin (1/7/2024). Foto: Tangkapan layar youtube

Komisi IX DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Produk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji Dengan Kandungan Gula Garam Lemak (GGL). Tujuannya untuk mendalami soal konsumsi terhadap GGL yang berlebih hingga berujung timbulnya penyakit yang dialami masyarakat.

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris, mengatakan konsumsi GGL yang berlebihan mengakibatkan berbagai penyakit katastropik yang dialami masyarakat Indonesia. Sayangnya, antar kementerian dan lembaga pemerintah menurut Charles belum punya cara pandang yang sama untuk membatasi GGL. Padahal pemerintah harus mencari solusi untuk mengatasi persoalan ini.

“Panja bisa merekomendasikan membentuk pansus agar DPR bisa mengumpulkan menteri dan lembaga terkait untuk mencari solusi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat Komisi IX dengan sejumlah pemangku kepentingan di Komplek Gedung Parlemen, Senin (1/7/2024).

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kementerian Kesehatan, Yudhi pramono mengatakan penyakit tidak menular menjadi penyebab kematian utama dan beban fiskal di Indonesia. Penyakit tidak menular seperti jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal menjadi beban pembiayaan yang paling berat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKM).

Baca juga:

Untuk keempat penyakit itu menghabiskan dana lebih dari Rp21 triliun di tahun 2022. Salah satu cara untuk melindungi masyarakat dari penyakit tidak menular itu adalah membatasi konsumsi GGL secara berlebihan. Yudhi menjelaskan pemerintah telah mengatur pengendalian konsumsi GGL dalam sejumlah aturan seperti Permenkes No.63 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Permenkes No.30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan Untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.

Intinya, beleid itu mewajibkan pencantuman informasi kandungan GGL serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan siap saji. Kemudian Permenkes No.41 Tahun 2014 Pedoman Gizi Seimbang, Permenkes No.28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia, Peraturan BPOM No.31 Tahun 2018 tentang Label Olahan Pangan, dan kertas kebijakan tentang cukai minuman manis. Selain itu Yudhi menyebut pembatasan GGL itu juga dimandatkan UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

“Saat ini masih berproses peraturan turunan dari UU 17/2023 tersebut,” katanya.

Ketentuan yang akan diatur dalam peraturan pelaksana tersebut misalnya pengendalian konsumsi GGL. Mengatur batas maksimum kandungan GGL dalam pangan dan kewajiban label gizi. Sejumlah strategi juga digunakan untuk mengendalikan konsumsi GGL. Seperti mendorong ketersediaan lebih banyak makanan dan minuman mengandung GGL rendah, edukasi perilaku hidup sehat, menerapkan label pada kemasan, dan pembatasan waktu tayang, lokasi dan sasaran iklan pangan yang mengandung GGL tinggi. Termasuk menetapkan regulasi atau kebijakan untuk mengatur kandungan GGL dalam pangan.

“Menetapkan batas maksimum kandungan GGL dalam makanan dan minuman,” ujarnya.

Cukai minuman berpemanis dalam kemasan

Kementerian Kesehatan mengusulkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Cukai tersebut telah diterapkan pada lebih dari 60 negara. Penerapan cukai itu diyakini sebagai intervensi efektif untuk mengurangi konsumsi gula dan salah satu rekomendasi utama badan kesehatan PBB (WHO), dan anak (UNICEF), Bank Dunia dan ASEAN. Sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya minuman tinggi gula.

Menurutnya, implementasi cukai MBDK diikuti dengan edukasi tentang bahaya dari konsumsi gula berlebihan dan minuman manis, akan mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat. Yudhi berpendapat cukai MBDK mendorong masyarakat untuk beralih ke produk minuman yang lebih sehat seperti air minum dalam kemasan. Mendorong masyarakat membeli produk tidak kena cukai. Terakhir, kebijakan ini dapat meningkatkan pendapatan negara.

“Penerimaan negara dari cukai dapat dialokasikan untuk membiayai program promotif dan preventif penyakit tidak menular,” urainya.

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Industri Argo Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, mengingatkan pengenaan cukai pada MBDK akan menaikan harga produk sehingga berpotensi mengurangi keuntungan pedagang kecil. Industri kecil menengah (IKM) lokal juga akan ikut terdampak. Pengalaman beberapa negara dengan penerapan cukai MBDK ini obesitas meningkat seperti Meksiko, Inggris dan Australia.

“Kami melakukan analisis soal elastisitas harga ketika menaikan atau mengenakan cukai MBDK jadi dampak ke industri terutama IKM akan berdampak,” paparnya.

Dalam materi tertulis yang dipaparkan Putu setidaknya ada beberapa hal dampak pengenaan cukai antara lain jika dikenakan cukai sebesar Rp1771/liter, potensi kenaikan harga produk minuman menpai 6-15 persen. Selain itu 70 persen konsumen produk minuman di Indonesia adalah kelas menengah ke bawah yang rentan terhadap harga. Kenaikan harga produk dapat menyebabkan penurunan penjualan yang signifikan.

Tags:

Berita Terkait