Pemerintah Baru Perlu Perhatikan Pencurian Ikan
Berita

Pemerintah Baru Perlu Perhatikan Pencurian Ikan

Indonesia akan menghadapi potensi gugatan di arbitrase internasional.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Baru Perlu Perhatikan Pencurian Ikan
Hukumonline
Debat visi misi ketiga antara capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo dinilai belum menyentuk detil dan langkah-langkah strategis mengatasi pencurian ikan. Padahal Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia memandang pencurian ikan merupakan bagian tak terpisahkan dari pertanahan nasional.

Menurut Riza Damanik dari Indonesia for Global Justice, sebagai Negara maritime, Indonesia punya potensi perikanan yang luar besar. Oleh karena itu mempertahankan wilayah Indonesia dari pencurian ikan pentng dilakukan, dan merupakan bagian dari upaya pertahanan nasional. Pencurian ikan diperkirakan mencapai nilai AS$23 miliar per tahun, sekitar 30 persen terjadi di Indonesia.

Riza berpendapat ada dua hal yang menyebabkan pencurian ikan itu terjadi. Pertama, terkesan ada praktik kesengajaan yang mentoleransi pencurian ikan terjadi di Indonesia. Kedua, 30 persen dari pencurian ikan itu terjadi di Indonesia berarti ada ribuan kapal asing yang keluar masuk wilayah Indonesia.

Sebagai negara kepulauan Indonesia punya keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. Dengan status negara kepulauan Indonesia bisa mengelola semua kekayaan yang berada di dasar dan di atas laut. Sehingga, walau
teknologi kapal laut dikuasai negara maju, tapi mereka tidak bisa bebas masuk kawasan laut Indonesia. Baginya, hal itu harus menjadi perhatian pemerintahan ke depan.

Mengingat debat capres putaran ketiga membahas masalah pertahanan dan politik luar negeri, Riza menilai kedua capres juga luput membahas isu aktual. Misalnya, lingkungan dan perubahan iklim. Padahal, di ranah internasional Indonesia berperan penting untuk menuntaskan perundingan dunia terkait perubahan iklim. Sebab, Indonesia secara ekonomi, geografi dan populasi sangat relevan untuk membicarakan soal perubahan iklim dalam konteks perundingan internasional. “Saya sayangkan kedua kandidat capres tidak membahas perubahan iklim,” kata Riza dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (23/6).

Oleh karena itu posisi Indonesia untuk menuntaskan perundingan perubahan iklim sangat dinanti negara berkembang dan miskin. Sebab, ancaman perubahan iklim tidak main-main, ia memperkirakan ada 200 ribu manusia di dunia yang akan menjadi pengungsi akibat perubahan iklim. Hal itu terjadi karena perubahan iklim membuat naik air laut dan menenggelamkan wilayah pesisir.

Penguasaan pulau Indonesia oleh asing menurut Riza juga tidak diperbincangkan secara mendalam. Jawaban kedua pasang capres terhadap masalah itu terkesan menggantung dan tidak berakar pada fakta, seperti kasus hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan.

Melihat kasus itu Riza menilai penguasaan terhadap pulau dan laut Indonesia oleh negara lain berpotensi besar akan terjadi lagi. Sebab, kawasan laut Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara asing. Sampai sekarang pembahasan tentang perbatasan antara Indonesia dengan 10 negara itu belum tuntas. Kemudian, pemerintah juga belum serius untuk berperan di wilayah perbatasan.

Tantangan bagi Presiden dan Wakil Presiden ke depan menurut Riza berkaitan dengan investasi asing. Mereka akan berhadapan dengan tuntutan hukum di arbitrase internasional (ICSID), seperti gugatan yang diajukan perusahaan tambang asal Inggris, Churchill Mining, terhadap pemerintah Indonesia.

Menurut Riza kedua capres luput memperhatikan potensi gugatan itu.
Padahal Indonesia punya 63 perjanjian investasi bilateral dengan 63 negara. Menurutnya, siapapun yang terpilih nanti harus berani mengoreksi perjanjian tersebut. Bahkan berbagai negara di Amerika Latin dan Afrika bukan saja berani mengoreksi perjanjian invetasi itu tapi juga keluar dari keanggotaan ICSID.

Pada kesempatan yang sama anggota koalisi dari INDED (Indonesian Institute for Development and Democracy), Arif Susanto, mengingatkan agar pertahanan nasional harus dibarengi dengan pembangunan demokrasi. Jika yang dikedepankan hanya pertahanan dan keamanan, ia khawatir pemerintahan ke depan hanya mengutamakan keamanan ketimbang demokrasi. Seperti yang terjadi di masa orde baru. “Dulu Soeharto mengatakan yang utama keamanan, itu artinya aman bagi penguasa bukan rakyatnya,” tandasnya.

Arif menilai kedua kandidat presiden menekankan pada penggunaan kekuatan bersenjata (hard power). Padahal, dari tahun ke tahun anggaran Indonesia untuk pertahanan dan keamanan cenderung terbatas. Ia mengusulkan agar para capres menggunakan pendekatan yang berbeda dengan negara lain dalam konteks pertahanan dan keamanan. Seperti melakukan diplomasi militer. Hal itu dapat dilakukan dengan cara latihan militer bersama.
Tags:

Berita Terkait