Pemerintah Bakal Gunakan Teknologi AI untuk Rancang Peraturan
Terbaru

Pemerintah Bakal Gunakan Teknologi AI untuk Rancang Peraturan

Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence dalam merancang regulasi diyakini menghemat anggaran sekitar Rp541 juta.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Heru Pambudi. Foto: Tangkapan layar youtube
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Heru Pambudi. Foto: Tangkapan layar youtube

Tugas pemerintah dalam menyelenggarakan roda pemerintahan antara lain menerbitkan berbagai peraturan. Melansir data peraturan.go.id sampai saat ini lebih dari puluhan ribu peraturan di Indonesia mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Badan/Lembaga, Peraturan Daerah, dan lainnya. Jumlah regulasi yang terbit terus bertambah, bahkan ada juga yang saling tumpang tindih, tidak sinkron antara satu dan lainnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan (Sekjen Kemenkeu), Heru Pambudi, menjelaskan Pasal 97B UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan secara elektronik.

Pandemi Covid-19 memberi pengalaman bagi pemerintah dalam membuat peraturan dengan cara yang tidak bisa dilakukan seperti biasanya. Sebab ada pembatasan aktivitas seperti tatap muka langsung. Sehingga teknologi diperlukan untuk menjawab tantangan tersebut.

Setelah pandemi berakhir, pemanfaatan teknologi dalam membuat peraturan masih diperlukan karena membuat prosesnya menjadi lebih efektif dan efisien. Misalnya, pejabat atau pimpinan tidak perlu bolak-balik dari suatu tempat untuk kembali ke Jakarta hanya untuk tanda tangan dokumen. Hal itu bisa dilakukan dimana saja secara elektronik.

“Ini suatu lompatan, dan kita harus memanfaatkan itu,” katanya dalam diskusi bertema Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: Evaluasi dan Tantangan ke Depan, Senin (29/7/2024).

Baca juga:

Peluang membentuk peraturan secara elektronik itu menurut Heru harus terus dikembangkan secara optimal. Salah satu langkah yang dilakukan Kemenkeu adalah menginisiasi adanya teknologi berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam menyusun rancangan peraturan.

Upaya itu sudah diawali dengan membentuk teknologi AI yang tujuannya memudahkan membaca peraturan sekaligus menelusuri apakah peraturan bidang tertentu sudah ada atau belum. Jika sudah ada, maka pemerintah tidak perlu lagi menerbitkan peraturan serupa sehingga tidak terjadi duplikasi.

Teknologi AI yang sudah digunakan Kemenkeu itu menurut Heru berpotensi untuk berjejaring dengan modul yang ada di kementerian/lembaga lain. Misalnya mulai dari proses drafting peraturan, pembahasan, dan pengundangan. Jika hal itu bisa dilakukan diyakini bakal menghemat waktu dan biaya dalam proses pembuatan peraturan.

“Kalkulasi kami hanya dengan kita apply modul, diperkirakan menghemat waktu dan biaya sekitar Rp541 juta,” ujarnya.

Mantan Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu itu berpendapat, penghematan biaya sebesar Rp541 juta untuk proses pembahasan satu peraturan itu sekilas kecil. Tapi akan signifikan jika dilakukan oleh semua kementerian dan lembaga termasuk pemerintah daerah. Selain menghemat waktu dan biaya, substansi regulasi yang diterbitkan juga memiliki standar yang sama.

Misalnya, peraturan daerah yang mengatur tentang retribusi untuk galian C. Dengan menggunakan teknologi AI semua daerah punya standar substansi aturan yang sama terkait retribusi tersebut. Heru mencatat banyak negara yang menggunakan teknologi AI dalam menyusun rancangan peraturan.

Sebagian masih menjalankan secara parsial, tapi ada juga yang sudah menyeluruh seperti Estonia. Jika sistem ini bisa berjalan di Indonesia, langkah berikutnya pemerintah bakal memiliki data jaringan dokumentasi dan informasi hukum (JDIH) dari seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah di berbagai daerah. Jaringan itu tak sekedar ada di pemerintahan selaku cabang kekuasaan eksekutif tapi juga di legislatif dan yudikatif.

Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan secara umum progres legislasi yang tidak partisipatif berdampak buruk. Partisipasi masyarakat secara bermakna dalam proses legislasi sangat penting. Bivitri menjelaskan sedikitnya 3 hal.

Pertama, sebagai perwujudan demokrasi Pancasila dan deliberatif, bukan sekedar demokrasi perwakilan, tapi substantif. Kedua, mencegah legislasi bermasalah karena tidak menyasar akar masalah atau karena adanya kepentingan jangka pendek legislator. Ketiga, kebijakan yang terbit bisa berdampak buruk atau baik terhadap kelompok yang berbeda.

“Proses legislasi yang tidak partisipatif bisa memperbesar dampak buruk itu,” imbuh Bivitri.

Tags:

Berita Terkait