Pemerintah Anggap Tiga RUU Ini Solusi Atasi Persoalan Over Kapasitas Lapas
Terbaru

Pemerintah Anggap Tiga RUU Ini Solusi Atasi Persoalan Over Kapasitas Lapas

Karenanya mendesak untuk segera disahkan menjadi UU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. Foto: RES
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. Foto: RES

Over kapasitas penghuni di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ataupun Rumah Tahanan (Rutan) menjadi permasalahan yang kerap berulang dan menjadi masalah klasik di Indonesia. Sebab, hingga saat ini belum menemukan jalan keluar yang efektif untuk mengatasi persoalan over kapasitas lapasa tersebut. Untuk itu, pemerintah terus berupaya mengatasi persoalan ini dari hulu hingga hilir melalui usulan tiga RUU yang dianggap bisa mengatasi persoalan over kapasitas lapas/rutan ini.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej mengakui over kapasitas Lapas memang masalah yang terus berulang. Untuk itulah, pemerintah tengah berupaya agar tiga RUU yang ada di DPR segera dirampungkan agar persoalan over kapasitas lapas dapat segera teratasi. Tiga RUU yang dimaksud yakni Revisi terhadap UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika; RUU KUHP; dan Revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

“Harapannya status UU yang kini menjadi RUU di DPR mendesak agar segera dirampungkan pembahasannya dan disahkan menjadi UU untuk mengatasi over kapasitas Lapas dan Rutan di Indonesia,” ujar Prof Edward seperti dikutip Antara, Kamis (5/8/2021).  

Dia menerangkan nasib RUU Narkotika belum nampak pembahasannya di tingkat Panitia Kerja (Panja) Komisi III. RUU Narkotika yang menjadi usul inisiatif pemerintah itu berada dalam urutan ke-26 dari 33 daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. “Materi muatan RUU Narkotika nantinya mengubah sejumlah pasal dalam UU 35/2009 sebagai upaya mengurangi kelebihan kapasitas hunian di Lapas,” lanjutnya.

Sementara RKUHP dan RUU Pemasyarakatan nyaris disahkan dalam rapat paripurna 2019 lalu. Namun, akibat gelombang penolakan dari masyarakat dan mahasiswa atas muatan materi RKUHP yang dianggap masih menuai kontroversial mengharuskan pemerintah dan DPR menunda persetujuan dan pengesahan menjadi UU.

“RKUHP juga produk hukum yang mendesak segera disahkan untuk mengatasi over kapasitas narapidana atau warga binaan di Lapas/Rutan. Karena materi muatan RKUHP banyak mengatur berbagai jenis tindak pidana/kejahatan.”

Tapi, pria yang akrab disapa Prof Eddy ini mengingatkan RKUHP berorientasi pada hukum pidana modern dan tak lagi melihat hukum pidana sebagai sarana balas dendam atau retributif. Tapi RKUHP cenderung pada keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. “Meskipun pidana penjara masih pidana pokok, tetapi bukan lagi yang utama,” ujarnya. (Baca Juga: Upaya Kemenkumham Atasi Persoalan Over Kapasitas Lapas)

Misalnya, jenis kejahatan yang ancaman pidananya di bawah empat tahun, hakim hanya bakal mengganjar pidana dengan hukuman pidana sosial; bila ancaman hukuman tak lebih dari dua tahun, hakim mengganjar pidana pengawasan; dan bagi jenis pidana kejahatan tertentu dikenakan pidana denda.

Sementara itu, Revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, tak lagi menempatkan Lapas sebagai tempat pembuangan akhir. Artinya, sejak awal ketika sebuah perkara di tangan penyidik, pihak Lapas telah dilibatkan. Tapi, sayangnya RKUHP dan RUU Pemasyarakatan tak masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021.

Terus meningkat

Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar mengatakan kondisi pandemi Covid-19, warga binaan di Lapas dan Rutan terus mengalami kenaikan. Meski sempat berhasil ditekan pada Maret-Mei 2020 lalu, dari angka overcrowding 99% menjadi 69%. “Nyatanya sekarang overcrowding Lapas dan Rutan terus merangkak naik bahkan lebih buruk dari sebelum kondisi pandemi,” kata Dio.

Dia menerangkan periode Februari 2020 overcrowding di angka 98%. Sedangkan Juni 2021 angka overcrowding mencapai 100% dengan jumlah penghuni mencapai 272.000 orang.  Sementara kapasitas hanya 135.000 orang. Tak hanya Rutan dan Lapas di bawah pengawasan Kementerian Hukum dan HAM, kelebihan penghuni juga terjadi di tempat penahanan, seperti kantor kepolisian.

Kemenkumham mengklami telah berupaya mencegah penyebaran Covid-19 di Rutan dan Lapas dengan kebijakan asimilasi di rumah dan Integrasi WBP melalui kebijakan dalam Permenkumham No. 10 tahun 2020, No. 32 tahun 2020, dan No. 24 tahun 2021. Melalui kebijakan ini, Kemenkumham mengklaim pada 2020 berhasil mengeluarkan 55.929 WBP dan 1.415 anak penerima hak integrasi; serta 69.006 WBP dan anak penerima hak asimilasi di rumah.

“Pada 2021, tercatat 16.387 WBP, 309 anak menerima hak integrasi, serta 21.096 narapidana dan anak menjalankan asimilasi di rumah,” jelasnya.  

Namun sayangnya upaya tersebut tidak kunjung berhasil mengurangi jumlah penghuni Rutan dan Lapas, arus masuk warga binaan tetap tinggi. “Tercatat, jumlah penghuni terus naik. Kondisi ini menunjukkan tidak ada sinergisitas antara Kemenkumham dengan Apgakum, seperti kejaksaan dan kepolisian dalam menekan angka overcrowding, malah angka pemenjaraan terus naik.”  

Baginya, kondisi tersebut menandakan pemerintah perlu segera menerapkan dan membangun sistem yang mumpuni agar adanya alternatif penahanan/pemenjaraan di Rutan dan Lapas yakni alternatif pemidanaan nonpemenjaraan. Dia menambahkan penahanan dan pemidanaan dalam Lapas dan Rutan terbukti membawa masalah ketika adanya pandemi seperti ini.

Tags:

Berita Terkait