Pemerintah Anggap Penguji UU Perbankan Keliru
Berita

Pemerintah Anggap Penguji UU Perbankan Keliru

Pemerintah meminta agar permohonan ini ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.

ASH
Bacaan 2 Menit
Perwakilan pemerintah diwakili Dirjen PP, Wicipto saat menyampaikan jawaban atas permohonan pengujian UU Perbankan, Selasa (2/12). Foto: Humas MK
Perwakilan pemerintah diwakili Dirjen PP, Wicipto saat menyampaikan jawaban atas permohonan pengujian UU Perbankan, Selasa (2/12). Foto: Humas MK

Pemerintah menganggap pemohon penguji Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 231 ayat (3) telah keliru memahami permasalahan keperdataan yang dialaminya. Sebab, eksekusi pencairan sesuai penetapan No. 07/Del/2013/PN Jakpus jo putusan No. 1485/Pdt.G/2008/PN Jakpus tertanggal 3 Maret 2014 atas harta milik termohon eksekusi di Bank DKI memiliki hukum acara tersendiri.

“Tentu ini menggiring pemohon pada penafsiran yang berbeda apabila memaknai keliru permasalahan keperdataan ke dalam lingkup hukum pidana,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi saat memberi tanggapan pemerintah dalam sidang pengujian UU Perbankan dan KUHP di ruang sidang MK, Selasa (2/12).       

Penjelasan pasal itu berbunyi, “Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.”

Dia menegaskan penetapan sita eksekusi itu masuk dalam ruang lingkup keperdataan. Dalam hukum acara perdata dikenal adanya upaya perlawanan terhadap penetapan eksekusi atau penetapan pengadilan seperti diatur dalam Pasal 195 ayat (6) HIR. Karena itu, jika termohon eksekusi tidak melaksanakan eksekusi, seharusnya diupayakan menempuh upaya hukum (perlawanan) itu.

Menurut pemerintah, upaya pemohon membawa permasalahan keperdataan ke dalam lingkup pidana hanya akan menunjukkan pemaksaan diterapkannya Pasal 231 ayat (3) KUHP. Sebab, Pasal 231 ayat (3) KUHP dimaksudkan mengatur ancaman hukuman kepada si penyimpan yang melakukan atau membantu melakukan kejahatan seperti diatur Pasal 231 ayat (1), (2) KUHP.

“Sebenarnya Pasal 231 KUHP tidak membedakan antara penyitaan barang yang bersifat polisionil (pidana), penyitaan yang diperintahkan oleh hakim (conservatoir) atau penyitaan eksekutorial,” katanya.      

Namun, dasar pemahaman yang tidak menyeluruh antara lingkup perdata dan pidana ini dikhawatirkan hanya bentuk justifikasi atas kriminalisasi hukum oleh pemohon. “Kehendak pemohon ini justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” katanya.

Tags: