Pemerintah Ancam Tindak Perusahaan Alih Daya Nakal
Berita

Pemerintah Ancam Tindak Perusahaan Alih Daya Nakal

Buruh pesimis, asosiasi perusahaan alih daya kesulitan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Ancam Tindak Perusahaan Alih Daya Nakal
Hukumonline

Masa transisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sudah berakhir. Ketaatan perusahaan alih daya atau outsourcing dan pengguna ditunggu banyak pihak.

Menakertrans, Muhaimin Iskandar, sudah menebar ancaman akan menindak perusahaan alih daya dan pengguna yang mesih bandel. Pemerintah berjanji akan mengawasi pelaksanaannya di lapangan. Bentuk pengawasan dan sanksi sudah tercantum dalam SE Menakertrans No.SE.04/MEN/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Permenekertrans Outsourcing.

Surat Edaran tersebut bisa dijadikan pedoman teknis agar perusahaan oursourcing dan perusahaan pengguna tak terjerat tuduhan penyimpangan. Dalam masa transisi, kata Muhaimin, Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya sosialisasi, pembinaan, dan pendampingan. Kini saatnya melakukan penindakan.

“Bagi perusahaan outsourcing nakal dan melakukan pelanggaran terhadap norma dan ketentuan yang berlaku maka Pemerintah tak akan segan-segan memberikan sanksi tegas berupa pencabutan izin operasional,“ katanya di Jakarta, Kamis (21/11) kemarin.

Ditegaskan Muhaimin, perusahaan outsourcing dan pengguna harus mematuhi peraturan ketenagakerjaan, dan menjamin pemenuhan kesejahteraan para pekerja. Dalam pelaksanaan outsourcing, perusahaan harus menjamin kelangsungan bekerja dan pemenuhan hak-hak pekerja seperti cuti, tunjangan hari raya (THR), ganti rugi, istirahat, dan jaminan perhitungan masa kerja untuk penetapan upah.

Sesuai Surat Edaran, padatahap awal, pengawas ketenagakerjaan yang bertugas di pusat dan daerah melakukan pemeriksaan ke perusahaan. Jika ditemukan pelanggaran, pengawas menerbitkan nota pemeriksaan dan memerintahkan perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya dalam batas waktu tertentu. Apabilaperusahaan tidak melaksanakan kewajibannya maka salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaian lewat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Sanksi terberatmenurut SEMenakertrans adalah pencabutan izin operasional perusahaan outsourcing. Pencabutan izinoleh kepala daerah dilakukan sesuai rekomendasi dari instansi ketenagakerjaan di kabupaten/kota. Pencabutan izin operasional dapat dilakukan ketika perusahaan outsourcing tidak mendaftarkan perjanjian penyediaan jasa pekerja kepada instansi ketenagakerjaan di kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.Pencabutan izin juga berlaku bila perusahaan outsourcing penyedia jasa pekerja tidak mencatatkan perjanjian kerja. Walau izin dicabut, perusahaan outsourcing penyedia jasa pekerja itu berkewajiban memenuhi hak-hak pekerja.

Ancaman Muhaimin disambut pesimis Timboel Siregar. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)ini  tidak yakin Permenakertrans Outsourcing dan SE Menakertrans tentang Outsourcing dapat dilaksanakan dengan baik.Mencabut izin perusahaan tidak semudah yang dibayangkan, karena banyak hal yang harus dipenuhi pemerintah.

Timboel menilai penjatuhan sanksi yang birokratis tidak konsisten. Seharusnya, Dinas Ketenagakerjaan di Provinsi punya kewenangan mencabut izin operasional perusahaan outsourcing penyedia jasa pekerja tanpa rekomendasi dari Dinas Ketenagakerjaan.“Sebaiknya Menakertrans merevisi Permenakertrans Outsourcing sehingga ketentuan yang tercantum di dalamnya menekankan pada peran pengawasan di tingkat pusat lebih maksimal. Tidak hanya menunggu dari pengawasan di daerah,” papar Timboel kepada hukumonline di Jakarta, Kamis (21/11).

Anggota Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi)pada  prinsipnya siap menjalankan amanat regulasi outsourcing.Wisnu Wibowo, Ketua Asosiasi, mengatakan perusahaan outsourcing hanya perlu melengkapi dokumen administratif yang disyaratkan. Meski begitu, Wisnu tak yakin seluruh pemangku kepentingan siap melaksanakan Permenakertrans dan Surat Edaran tentang outsourcing. Misalnya, perusahaan pengguna outsourcing pemborongan pekerjaan, harus menentukan alur kegiatan dan ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha.

Wisnu menjelaskan tidak mudah bagi asosiasi sektor usaha menentukan alur kegiatan bagi perusahaan yang menjadi anggotanya. Selain rumit, waktu yang dibutuhkan tergolong lama. Misalnya, sebuah perusahaan di bidang komputer. Asosiasi sektor usaha ini butuh waktu dua bulan untuk menentukan alur kegiatan. Sulitnya menentukan alur kegiatan itu karena asosiasi butuh petunjuk pelaksanaan. Ironisnya, acuan itu baru diterbitkan setelah 10 bulan Permenakertrans Outsourcing diterbitkan yaitu lewat SE Menakertrans No.SE.04/MEN/2013.

Padahal, masa transisi Permenakertrans Outsourcing hanya 12 bulan setelah regulasi itu diterbitkan. Dengan jangka waktu transisi yang tersisa dua bulan setelah diterbitkannya SE No.SE.04/MEN/2013 maka pemangku kepentingan di bidang outsourcing tidak punya waktu cukup melakukan persiapan. Salah satunya asosiasi sektor usaha yang bertugas menentukan alur kegiatan. Abadi mengusulkan pemerintah untuk menunda atau memperpanjang masa transisi Permenakertrans Outsourcing. “Asosiasi sektor usaha harus mengakomodasi alur kegiatan bagi anggotanya, itu tidak makan waktu sebentar,” pungkas Wisnu.

Tags:

Berita Terkait