Pemerintah Alokasikan Rp4 Triliun untuk BPJS
Berita

Pemerintah Alokasikan Rp4 Triliun untuk BPJS

Untuk membuka kantor cabang di setiap kabupaten dan kota.

Ant
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Alokasikan Rp4 Triliun untuk BPJS
Hukumonline

Pemerintah akan mengalokasikan Rp4 triliun untuk modal awal dua badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) dalam perluasan kantor pelayanan.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Bambang Purwoko di Jakarta, Minggu (25/6), mengatakan masing-masing BPJS akan mendapat Rp2 triliun untuk peningkatan kualitas pelayanan dengan membuka kantor cabang di setiap kabupaten dan kota.

Ia menjelaskan, dengan berlakunya pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) pada 1 Januari 2014 maka setiap warga negara harus mendapat pelayanan maksimal.

Pada 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan akan melaksanakan pelayanan kesehatan bagi setiap warga negara. Warga yang mampu (pekerja dan profesional) akan membayar iuran, sedangkan warga yang miskin dan tak mampu akan dibayar oleh negara.

Pada 1 Juli 2015 BPJS Ketenagakerjaan akan mulai beroperasi dan setiap pekerja yang mempunyai hubungan kerja secara formal berhak mendapat perlindungan dari risiko kerja. Perlindungan berupa Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun. Konsekuensinya, BPJS Ketenagakerjaan juga harus memiliki kantor di setiap kabupaten dan kota.

PT Askes akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan PT Jamsostek bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

Pekerja Informal
Lebih jauh Purwoko mengatakan dalam peraturan perundang-undangan pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk membayar iuran pekerja untuk ikut program jaminan sosial tenaga kerja, termasuk pada pekerja sektor informal.

"Pemberi kerja atau pengusaha yang berhak membayar iuran jaminan sosial. Terkait pekerja informal maka mereka mengikuti program peserta mandiri," kata Purwoko.

Tugas utama BPJS Ketenagakerjaan memastikan semua pekerja formal menjadi peserta karena saat ini baru sepertiga yang menjadi peserta aktif.

"Oleh karena itu BPJS Ketenagakerjaan memiliki wewenang pengawasan (labor inspector) agar jumlah kepesertaan meningkat dan maksimal," kata Purwoko.

Sebelumnya, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Abdul Latief Algaff di Jakarta, Sabtu (23/6), mengatakan kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015 ketika BPJS Ketenagakerjaan dimulai, memang berbeda dengan Jaminan Sosial Kesehatan Nasional (Jamkesnas).

Pada Jamkesnas yang dimulai pada 1 Januari 2014 nanti, pemerintah akan menanggung iuran warga miskin dan tak mampu. Sementara pada kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan maka peserta harus membayar iuran sendiri.

Latief mengatakan negara tidak akan mampu membayar iuran jaminan sosial ketenagakerjaan karena untuk membayar iuran Jamkesnas saja masih menanti PP tentang masyarakat miskin dan tak mampu.

Diungkapkannya, saat ini penyelenggaraan Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan hanya menanggung 76 juta penduduk miskin dengan nilai iuran Rp9.000 perkepala dengan total iuran sekitar Rp7 trilun.

Sementara Dewan Jaminan Sosial Nasional memperkirakan negara harus menyisihkan Rp40 triliun bagi penduduk miskin dengan nilai iuran Rp27.000 perjiwa. Jumlah warga yang ditanggung pemerintah juga akan meningkat.

"Apalagi menanggung iuran Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Pemerintah pasti tidak mampu," kata Latief. Dia juga menjelaskan dalam UU BPJS dan UU SJSN tidak diatur kewajiban pemerintah menanggung jaminan sosial ketenagakerjaan, yang diatur tentang kewajiban pemerintah menanggung iuran Jamkesnas.

"Di negara maju, jaminan ketenagakerjaan juga menjadi tanggung jawab pemberi kerja, termasuk bagi pekerja informal," kata Latief.

Di Indonesia, komposisi pekerja informal masih besar yakni 70 persen. Di Korea Selatan, pekerja informal hanya dua persen sehingga program jaminan sosial ketenagakerjaan relatif maju, karena 98 persen pekerja berkategori formal.

Namun, dia menilai jika BPJS Ketenagakerjaan mampu menggarap 30 juta pekerja formal menjadi peserta aktif sudah prestasi besar karena kepesertaan akan naik tiga kali lipat yang saat ini sekitar 10 juta pekerja.

Tags: