Pemerintah Akan Revisi Permenaker Jaminan Sosial TKI
Berita

Pemerintah Akan Revisi Permenaker Jaminan Sosial TKI

Manfaat jaminan sosial yang diterima buruh migran akan disesuaikan dengan amanat UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Buruh memanfaatkan layanan untuk TKI. Foto: SGP
Buruh memanfaatkan layanan untuk TKI. Foto: SGP

Perlindungan buruh migran merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian pemerintah. Bentuk perlindungan itu dilakukan antara lain melalui program jaminan sosial untuk buruh migran. Sejak Juli 2017 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.7 Tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

 

Melalui regulasi itu pemerintah mewajibkan buruh migran untuk mengikuti 4 program jaminan sosial yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Badan penyelenggara asuransi buruh migran yang sebelumnya dikelola melalui konsorsium asuransi sekarang ditangani BPJS.

 

Pemerintah menilai Permenaker No.7 Tahun 2017 belum selaras UU No.18 Tahun 2017 oleh karenanya ke depan ada rencana untuk revisi. Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan, Khairul Anwar, mengatakan pembahasan revisi itu telah melalu proses panjang dengan melibatkan berabgai pemangku kepentingan. Dia pun menyebut Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, akan meneken Permenaker hasil revisi itu dalam waktu dekat.

 

Khairul menjelaskan Permenaker Jaminan Sosial untuk buruh migran merupakan amanat pasal 29 ayat (5) UU No.18 Tahun 2017. Permenaker hasil revisi itu akan mencabut Permenaker No.7 Tahun 2017. Menurutnya Permenaker ini memuat 13 bab dan 46 pasal. Program jaminan sosial yang wajib diikuti oleh buruh migran masih sama seperti sebelumnya yakni JKN, JKK, JKM dan JHT.

 

“Keempat Jamsos itu akan diberikan kepada peserta pekerja migran Indonesia dengan dua kategori yakni calon pekerja migran Indonesia/pekerja migran Indonesia yang ditempatkan oleh pelaksana penempatan dan perseorangan,” kata Khairul dalam keterangan pers, Kamis (29/11).

 

Jangka waktu perlindungan bagi pekerja migran yang ditempatkan oleh pelaksana penempatan yakni pada masa sebelum bekerja (paling lama 5 bulan), selama bekerja (25 bulan) dan setelah bekerja (1 bulan). Untuk buruh migran yang berangkat secara mandiri atau perseorangan jangka waktu perlindungan yang diberikan yakni 1 bulan sebelum keberangkatan, 24 bulan selama bekerja dan setelah bekerja 1 bulan.

 

Manfaat yang diterima buruh migran pada masa sebelum dan setelah bekerja meliputi perawatan dan pengobatan yang ditanggung program JKK, pelayanan ini diberikan sesuai kebutuhan medis. Kemudian santunan berupa uang dan pendampingan serta pelatihan vokasi bagi pekerja migran yang mengalami kecelakaan kerja. Manfaat itu juga diterima buruh migran yang dipulangkan oleh pemberi kerja.

 

Jika buruh migran meninggal dalam status kepesertaan aktif, Khairul memaparkan manfaat program JKM akan diberikan kepada ahli waris. "Manfaat JKM sebelum dan setelah bekerja diberikan berupa santunan uang, meliputi santuan kematian, santunan berkala dan biaya pemakaman," urainya.

 

Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, mengataan rancangan Permenaker ini telah mengakomodir berbagai kasus yang berkaitan dengan buruh migran. Paling penting setelah Permenaker ini diterbitkan yakni antar pemangku kepentingan punya cara pandang yang sama untuk melaksanakannya. "Tinggal adanya persepsi yang sama antara Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaam dan Komisi IX DPR selaku pembuat Undang-Undang," paparnya.

 

Baca:

 

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto menyambut baik rencana revisi ini dan berharap manfaat jaminan sosial bagi buruh migran terus meningkat. "Kami berharap ada klausul Permenaker ini bisa direview secara berkala untuk melihat besaran manfaat atau iuran untuk melihat keseimbangannya apakah dinaikkan atau diturunkan agar tetap akan terjaga manfaat dan iurannya,” usulnya.

 

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, berpendapat Permenaker No.7 Tahun 2017 layak untuk direvisi karena regulasi itu terbit sebelum UU No.18 Tahun 2017 dilahirkan. Program jaminan sosial bagi buruh migran dan keluarganya sebagaimana diatur pasal 29 ayat (2) UU No.18 Tahun 2017 merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

 

Mengingat kepesertaan jaminan sosial sifatnya wajib, Timboel mengusulkan buruh migran untuk ikut seluruh program jaminan sosial yaitu JKN, JKK, JHT, JKM, dan Jaminan Pensiun (JP). Timboel melihat Permenaker No.7 Tahun 2017 hanya mewajibkan program JKK dan JKM. “Buruh migran dan keluarganya pasti membutuhkan 5 program jaminan sosial itu,” katanya di Jakarta, Sabtu (1/12).

 

Untuk kepesertaan JKN, Timboel mengatakan program ini sangat bermanfaat bagi keluarga buruh migran di Indonesia. Bagi buruh migran yang masih bekerja di luar negeri manfaat JKN bisa dilaksanakan dengan mekanisme penggantian biaya pengobatan ketika tidak ada fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Penggantian biaya itu sebesar paket INA-CBGs.

 

Program JKK menurut Timboel mestinya bisa diterapkan untuk buruh migran yang bekerja di luar negeri. Manfaat yang bisa diberikan meliputi pelayanan kesehatan dan santunan bagi buruh migran yang mengalami kecelakaan kerja di negara penempatan.

 

Timboel berharap buruh migran mendapat seluruh manfaat program JKK dan JKM seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JKK dan JKM. Salah satu manfaat yang penting diterima buruh migran pada saat sebelum dan sesudah bekerja di luar negeri yakni pelatihan vokasi.

 

Tak ketinggalan Timboel menekankan kriteria kecelakaan kerja untuk buruh migran harus diperluas sesuai fakta dan risiko yang kerap menimpa buruh migran. Kasus yang sering dialami buruh migran Indonesia yaitu pemerkosaan, dan penganiayaan sampai masuk penjara karena mempertahankan diri harus masuk kategori kecelakaan kerja yang dijamin manfaatnya.

 

Program JHT perlu diwajibkan untuk buruh migran karena penting sebagai tabungan ketika mereka kembali dari luar negeri. Begitu pula program JP, relasi buruh migran dan penggunanya harusnya diposisikan sebagai hubungan kerja sehingga buruh migran bisa ikut program JP. Manfaat program JP yang diterima buruh migran akan melindungi mereka ketika tidak bisa lagi bekerja ke luar negeri karena usia.

 

Timboel melihat pasal 29 ayat (4) UU No.18 Tahun 2017 mengantisipasi risiko yang berpotensi dialami buruh migran tapi tidak tercakup dalam program jaminan sosial yang ada. Menurut Timboel beberapa risiko itu seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan pemulangan buruh migran yang bermasalah. “Revisi Permenaker No.7 Tahun 2017 perlu mengatur manfaat bagi buruh migran yang mengalami risiko itu misalnya mendapat santunan atau tunjangan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait