Pemerintah: Pengaturan Organisasi Advokat Konstitusional
Berita

Pemerintah: Pengaturan Organisasi Advokat Konstitusional

Pemerintah mengakui dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan advokat, sesuai Pasal 26 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) UU Advokat, secara resmi kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan Peradi yang telah terbentuk.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) terkait organisasi wadah advokat, digelar Senin (25/6/2018) kemarin. Agenda sidang ini mendengar keterangan Pemerintah yang diwakili oleh Ninik Hariwanti selaku Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

 

“Ketentuan pasal-pasal yang diuji merupakan penormaan ketentuan undang-undang yang antara pasal satu dengan pasal yang lain mempunyai keterkaitan pengaturan yang bersesuaian, sehingga dapat membentuk suatu sistem pengaturan yang disesuaikan dengan kebutuhan hukum,” ujar Ninik kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, seperti dikutip laman resmi MK. Baca Juga: MK Diminta Putuskan Peradi Sebagai Wadah Tunggal 

 

Permohonan ini diajukan oleh Bahrul Ilmi Yakup, Shalih Mangara Sitompul, Gunadi Handoko, Rynaldo P. Batubara, Ismail Nganggon yang merupakan para advokat yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Iwan Kurniawan yang merupakan calon advokat.

 

Mereka mempersoalkan frasa “organisasi advokat” dalam Pasal 1 ayat (4); Pasal 2 ayat (1); Pasal 3 ayat (1) huruf f; Pasal 4 ayat (3); Pasal 7 ayat (2); Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 9 ayat (1); Pasal 10 ayat (1) huruf c; Pasal 11; Pasal 12 ayat (1); Pasal 13 ayat (1) dan (3); Pasal 23 ayat (2); Pasal 26 ayat (1) hingga ayat (7); Pasal 27 ayat (1), (3) dan (5); Pasal 28 ayat (1), (2) dan (3); Pasal 29 ayat (1), (2),(4) dan (5); Pasal 30 ayat (1); Pasal 32 ayat (3) dan (4); Pasal 33; dan penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2).    

 

Namun, menurut Pemerintah, diaturnya organisasi profesi advokat dengan beberapa pasal sebagaimana pasal a quo, merupakan pengaturan norma hukum yang sangat jelas dan lengkap, dapat memberi batasan-batasan pengaturan sesuai kebutuhan hukum. Pasal-pasal a quo, jelas Ninik, tidak bertentangan dengan landasan konstitusional, namun justru memberi pengaturan untuk melaksanakan hak-hak konstitusional yang dimiliki para anggota advokat itu sendiri.

 

Para Pemohon juga beranggapan norma pasal-pasal a quo dalam frasa organisasi advokat bersifat multitafsir. Dalam hal ini, Pemerintah mengutip Putusan MK Nomor 14/PUU-XIV/2016 yang dalam pertimbangan hukumnya, diantaranya Pasal 28 ayat (1) UU Advokat arahnya menuju single bar organizations.

 

Dijelaskan Ninik, menurut keterangan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), 8 organisasi yang mengemban tugas sementara organisasi advokat yakni Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia  (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) tetap eksis.

 

“Namun kewenangannya sebagai organisasi profesi advokat, dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan advokat, sesuai Pasal 26 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) UU Advokat, secara resmi kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan Peradi yang telah terbentuk,” ungkap Ninik.

 

Pemerintah menegaskan, kedelapan organisasi advokat pendiri Peradi tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan Peradi. Karena itu, lanjut Ninik, tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan organisasi yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul, sebagaimana diatur UUD RI Tahun 1945 (Putusan Mahkamah Nomor 19/PUU-I/2003).

 

“Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD Tahun 1945 tidak beralasan,” kata Ninik.

 

Dia mengakui Pasal 1 angka 4, Pasal 2 ayat (1) dan (2) maupun sejumlah pasal-pasal lain dalam UU Advokat sepanjang frasa “organisasi advokat” tidak memenuhi syarat konstitusionalitas norma hukum yang baik, yang memiliki karakter jelas, padat dan lengkap.

 

Alasan para pemohon, faktanya frasa “organisasi advokat” telah dimanipulasi oleh berbagai pihak. Hal ini memungkinkan munculnya berbagai organisasi advokat yang mengklain dirinya seolah-olah sah dan berwenang menjalankan organisasi advokat yang diatur UU Advokat. Seperti, Persatuan Advokat Indonesia Indonesia (Peradin), Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri), Kongres Advokat Indonesia Indonesia (KAI), dan lain-lain.

 

Misalnya, KAI yang telah mengklaim dirinya seolah-olah sah melaksanakan wewenang dalam UU Advokat, seperti menyelenggarakan pendidikan calon advokat, mengangkat advokat, permohonan pengambilan sumpah advokat ke pengadilan tinggi, merekrut anggota, pengawasan dan menjatuhkan sanksi etik kepada advokat. Hal ini diaturPasal 10 huruf a Akta Pendirian Organisasi Kongres Advokat Indonesia, yang tidak benar dan tidak berdasar secara konstitusional.

 

Para pemohon meminta kepada Mahkamah agar mengabulkan permohonannya dengan menyatakan frasa “organisasi advokat” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai Peradi merupakan satu-satunya organisasi profesi advokat yang berwenang melaksanakan UU Advokat, dalam hal ini Peradi. Namun, organisasi advokat yang tidak melaksanakan wewenang dalam UU Advokat, boleh banyak. 

Tags:

Berita Terkait