Pemerintah: Mekanisme Pengangkatan Pimpinan Pengadilan Pajak Konstitusional
Berita

Pemerintah: Mekanisme Pengangkatan Pimpinan Pengadilan Pajak Konstitusional

Bagi pemerintah kemerdekaan hakim pajak dalam memutus perkara tetap terjamin sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, sehingga, tidak terpengaruh oleh pihak yang mengusulkan ketua dan wakil pengadilan pajak itu.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pemerintah menganggap aturan pencalonan pimpinan pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak telah sesuai dengan UUD Tahun 1945. Pandangan ini disampaikan Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan dalam sidang lanjutan pengujian UU Pengadilan Pajak yang dipersoalkan beberapa hakim pajak.   

Ia menegaskankan secara khusus pengaturan pembinaan administrasi umum dan keuangan telah sejalan dengan UUD 1945, khususnya pengaturan sengketa perpajakan. Hal tersebut dikarenakan fungsi dan peruntukan pajak ditujukan untuk kemakmuran dan kepentingan rakyat.

“Sengketa pajak tidak dapat disamakan dengan sengketa pada umumnya. Keputusan sengketa pajak sangat jelas dan bersifat mengikat dan terakhir,” kata Tio Serepina Siahaan di ruang sidang MK, Selasa (7/7/2020). (Baca Juga: Menguji Konstitusionalitas Pengangkatan Pimpinan Pengadilan Pajak)    

Selengkapnya, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi, ”Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Sementara Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi, “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapatkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.”

Tio melanjutkan adanya kekhususan tersebut, maka Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengusulkan calon ketua dan wakil ketua pengadilan pajak. Namun, calon terpilih tetap harus disetujui oleh Ketua Mahkamah Agung (MA), dan kemudian ditetapkan oleh Presiden.

Menurutnya, kemerdekaan hakim pajak dalam memutus perkara tetap terjamin sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, sehingga, tidak terpengaruh oleh pihak yang mengusulkan ketua dan wakil pengadilan pajak itu. “Sejatinya kemerdekaan hakim memutus sengketa pajak telah dijamin Pasal 5 ayat (3) UU Pengadilan Pajak,” tegasnya.

Dengan begitu, kata dia, pemilihan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak yang dilakukan Kementerian Keuangan selama ini sudah sesuai konstitusi. Sementara terkait permohonan pemohon, Pemerintah berpendapat pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, sehingga MK seharusnya tidak menerima permohonan ini.

“Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena mempersoalkan penerapan norma, bukan konstitusionalitas norma. Karena itu, pemerintah berpendapat permohonan pemohon tidak memenuhi ketentuan uji materi di MK,” katanya.

Sebelumnya, tiga hakim pajak yakni Triyono Martanto, Haposan Lumban Gaol, dan Redno Sri Rezeki menilai Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945 terkait indepedensi kekuasaan kehakiman yang umumnya sudah satu atap di Mahkamah Agung (MA).     

Permohonan ini menyoal sistem pengangkatan dan pemberhentian ketua dan wakil ketua pengadilan pajak, terutama dalam hal independensi, kemerdekaan, dan kewibawaan hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pajak. Menurut para pemohon, UU Pengadilan Pajak tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai mekanisme penentuan calon ketua dan wakil ketua pengadilan pajak sebelum dimintakan persetujuan Ketua MA dan diusulkan kepada Presiden oleh Menteri Keuangan. 

Sejak ada pengadilan pajak pada 2002, mekanisme pengusulan calon ketua dan wakil ketua dilakukan secara berbeda. Misalnya, pernah dilakukan melalui mekanisme pemilihan dari dan oleh hakim untuk selanjutnya diusulkan kepada menteri keuangan. Pernah juga didasarkan atas usulan dari ketua periode sebelumnya menjelang masa pensiun.

Dengan demikian, adanya inkonsistensi mekanisme pencalonan pimpinan pengadilan pajak tersebut tidak lepas dari tidak adanya pengaturan mekanisme pencalonan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak yang hanya berkedudukan di ibukota negara ini. Baca Juga: Persoalan Peradilan Pajak Layak Masuk RUU Omnibus Law Perpajakan

Para pemohon juga menyebutkan UU Pengadilan Pajak tidak menyertakan masa jabatan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak. Dampaknya, menurut Pemohon, ketua dan wakil ketua pengadilan pajak akan menjabat sampai dengan pensiun karena tidak dapat diberhentikan, kecuali melakukan tindak pidana, melanggar kode etik, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, tidak cakap dalam menjalankan tugas dan meninggal dunia.

Dengan tidak adanya pembatasan masa jabatan ini, menurutnya berpotensi membuat pimpinan pengadilan pajak otoriter, penyalahgunaan kekuasaan, tersendatnya regenerasi kepemimpinan organisasi, dan timbulnya kultus individu. Untuk itu, para pemohon dalam petitum permohonannya meminta agar Mahkamah menyatakan norma pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Tags:

Berita Terkait