Pemerintah: Kepastian Revisi UU ITE Bergantung Hasil Tim Kajian
Berita

Pemerintah: Kepastian Revisi UU ITE Bergantung Hasil Tim Kajian

Sejumlah pihak tetap berharap agar pemerintah tetap melakukan usulan revisi UU ITE.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Foto ilustrasi: BAS
Foto ilustrasi: BAS

Pemerintah bakal mengkaji materi muatan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No.19 Tahun 2016 dengan membentuk Tim Kajian. Namun, kepastian merevisi UU ITE bergantung hasil kajian dari Tim tersebut. Tim Kajian bekerja selama tiga bulan untuk meneliti dan mendalami sejumlah pasal yang dinilai menjadi pasal karet.

“Tim akan mengkaji UU ITE yang dianggap masyarakat perlu direvisi karena katanya ada pasal-pasal yang bersifat karet,” ujar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Prof Mahfud MD sebagaimana dilansir Antara, Senin (22/2/2021). (Baca Juga: Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE)

Pembentukan Tim Kajian UU ITE ini didasarkan Keputusan Menkopolhukam Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian UU tentang ITE. Tim Kajian diberi waktu selama tiga bulan hingga 22 Mei 2021 untuk mengkaji UU ITE ini. Hasilnya, bakal menjadi rujukan bagi pemerintah untuk memutuskan apakah UU ITE perlu direvisi.

Tim Kajian terdiri dari tiga kementerian dan lembaga terkait, seperti Kemenkopolhukam, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Mahfud menjelaskan, pembentukan Tim Kajian merupakan tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo kepada Kapolri yang meminta laporan-laporan masyarakat atas dugaan pelanggaran UU ITE dilakukan secara hati-hati dan selektif.

Berdasarkan Keputusan Menkopolhukam 22/2021 ini, Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna H Laoly, Menkominfo Jhonny G Plate, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit bertindak sebagai Pengarah Tim Kajian UU ITE. Sementara tim pelaksana kajian UU ITE dipimpin Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam, Sugeng Purnomo.

Tim pelaksana dibagi menjadi dua yakni  Sub Tim I sebagai Perumus Kriteria Penerapan UU ITE diketuai oleh Staf Ahli bidang Hukum Kominfo, Prof Henri Subiakto. Sub Tim I bertugas merumuskan kriteria implementatif atas pasal-pasal dalam UU ITE yang kerap dinilai multitafsir atau karet. Sedangkan Sub Tim II dipimpin Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Prof Widodo Ekatjahjana. Sub Tim II bertugas menelaah beberapa pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir dan menentukan apakah perlu revisi atau tidak.

Terpisah, Anggota Komisi I DPR, Sukamta mengatakan rencana merevisi UU ITE telah diusulkan agar masuk dalam Prolegnas Prioritas. Meski kandas akibat kurangnya dukungan parlemen, tapi belakangan Presiden Joko Widodo menyuarakan usulan revisi UU ITE. Meski terlambat, tapi bila pemerintah resmi memutuskan merevisi UU ITE menjadi angin segar bagi masyarakat luas, khususnya terhadap sejumlah pasal karet dalam UU ITE.

Dia mengusulkan beberapa hal perlu direvisi. Seperti aturan pemblokiran situs internet, right to be forgotten, penyadapan, penyidikan, dan pasal pencemaran nama baik yang dikurangi maksimal ancaman pidana penjaranya dari 6 tahun menjadi 4 tahun. “Kami pernah meminta agar pasal pencemaran nama baik ditinjau ulang. Bahkan, bila perlu dihapus saja, mengingat sudah diatur dalam KUHP dan tidak ada duplikasi pengaturan,” ujarnya politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.

Sementara Direktur Eksekutif LBH Konsumen Jakarta, Zentoni melihat rencana Presiden Jokowi bakal mengajukan usulan revisi UU ITE perlu didukung. Menurutnya, UU ITE yang berlaku saat ini tidak membawa keadilan bagi konsumen Indonesia. Baginya, UU ITE harus direvisi lantaran merugikan banyak orang. Bahkan, berpotensi disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis konsumen Indonesia.

Dia mengingatkan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan sejumlah hak-hak konsumen. Antara lain hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Ketika hak-hak tersebut digunakan oleh Konsumen justru banyak berujung laporan ke aparat penegak hukum. “Seperti kasus-kasus antara konsumen dengan rumah sakit, konsumen dengan developer/perusahaan property, dan lain-lain, banyak lagi,” kata dia.

Zentoni berharap pemerintah dan DPR, revisi UU 19/2016 nantinya melibatkan banyak pihak yang fokus di bidang perlindungan konsumen. Seperti yang dipimpinnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI, Komunitas Konsumen Indonesia (KKI). “Agar UU yang disahkan nantinya tidak merugikan Konsumen Indonesia,” katanya.

Tags:

Berita Terkait