Pemekaran Wilayah Abaikan Sarana dan Prasarana Peradilan
Berita

Pemekaran Wilayah Abaikan Sarana dan Prasarana Peradilan

Kelengkapan infrastruktur peradilan tidak menjadi prioritas persyaratan pemekaran suatu wilayah. Pelayanan atas hak-hak pencari keadilan terabaikan.

CRR
Bacaan 2 Menit
Pemekaran Wilayah Abaikan Sarana dan Prasarana Peradilan
Hukumonline

 

Anggota DPD asal Sumatera Barat, Mochtar Naim, sependapat jika pemekaran dimaksudkan untuk efisiensi, efektivitas dan mempermudah akses layanan publik. Ketika suatu daerah hendak dimekarkan, maka sudah semestinya dipertimbangkan juga ketersediaan lembaga-lembaga yang akan memberikan layanan kepada masyarakat, termasuk layanan hukum. Pada kenyataannya, semangat melakukan pemekaran tersebut seringkali kurang memperhitungkan kemampuan wilayah untuk 'berdiri' sendiri, ujar anggota DPD yang lebih dikenal sebagai pakar sosiologi antropologi itu.

 

Mochtar Naim mengakui penyediaan sarana dan prasarana peradilan bukan prioritas dalam pemekaran suatu wilayah, malah bisa menempati urutan kesekian dalam perencanaan. Apalagi, jika pemekaran itu tak didukung dana yang memadai. Kalau demikian, maka yang diprioritaskan adalah sarana dan prasarana pemerintahan. Untuk membangun infrastruktur, tidak semudah membalikan telapak tangang, butuh waktu yang panjang dan tergantung pada anggaran. Apabila daerah tersebut tidak memiliki penghasilan sendiri, tentunya kembali bergantung kepada pusat, imbuhnya.

 

Kalaupun muncul banyak kasus, kata Mochtar, penyelesaiannya tidak melulu harus melalui pengadilan. Di Sumatera Barat misalnya. Di sini, proses penyelesaian perkara masih bisa menggunakan instrumen ‘peradilan' adat. Nagari-nagari tertentu masih memiliki wadah penyelesaian sengketa antar masyarakat.

 

Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pemebentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, menyebutkan bahwa pemekaran suatu wilayah harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Dari ketiga syarat itu, tak ada satu pun yang merujuk pada ketersediaan sarana dan prasarana peradilan.

 

Idealnya, pemekaran suatu wilayah mempertimbangan ketersediaan sarana dan prasarana atau infrastruktur yang mendukung proses peradilan seperti kantor polisi, jaksa, lembaga pemasyarakatan, rutan, dan pengadilan. Namun dalam praktek, ketersediaan saran dan prasarana penegakan hukum itu acapkali terabaikan.

 

Guru Besar Kriminilogi FISIP Universitas Indonesia, Muhammad Mustofa mengkritik kebijakan pemekaran yang mengabaikan sarana dan prasarana peradilan. Acapkali suatu wilayah dimekarkan padahal wilayah pemekaran belum memiliki lembaga peradilan, lembaga pemasyarakatan hingga pengadilan. Kebijakan semacam itu, kata Prof. Mustofa berpotensi bukan saja melanggar hak-hak pencari keadilan, tetapi menapikan pelayanan publik. Pandangan yang keliru jika infrastruktur peradilan itu dikesampingkan karena pelayanan publik itu harusnya bisa didapatkan secara efisien, terjangkau, dan di mana saja, jelas Prof Mustafa.

 

Sekadar contoh, tengoklah Depok. Pemerintahan Kota Depok sebenarnya sudah terbentuk sejak 1999, tetapi sarana dan prasarana peradilannya belum lengkap. Kejaksaan Negeri Depok memang sudah lama ada. Pengadilan Negeri Depok baru ada Februari 2006 silam. Selama ini warga yang berurusan dengan pengadilan harus ‘numpang' di PN Cibinong. Padahal, perkara yang ditangani Kejaksaan Depok selama ini berkisar 70-80 kasus per bulan.

 

Kepolisian setingkat Polres sudah ada, demikian pula Kejaksaan dan Pengadilan Negeri. Sayang, hingga kini Depok belum memiliki lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (rutan). Menurut rencana, tempat tahanan dan napi itu baru akan dibuat pada tahun ini. Akibatnya, warga yang berurusan dengan lapas harus jauh-jauh ke Paledang, Bogor. Kondisi semacam inilah yang dinilai Prof. Mustofa tidak sesuai dengan prinsip pelayanan publik yang efisiensi dan terjangkau. Itu kan menyusahkan, jalannnya proses peradilan jadi tidak efisien. Belum lagi, karena mereka semua ditempatkan di satu tempat, Lapas Paledang jadi overcapacity, sehingga pelayanan terhadap hak-hak tahanan dan narapidana jadi tidak terpenuhi secara maksimal, ujarnya kepada hukumonline.

 

Penyediaan sarana dan prasarana peradilan memang bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Ia sangat tergantung pada tingkat kebutuhan. Depok, sebagai kawasan penyangga Ibukota Jakarta dengan tingkat kriminalitas relatif tinggi, ketersediaan sarana dan prasarana peradilan menjadi penting.

Halaman Selanjutnya:
Tags: