Pemecatan PNS Tipikor Jalan di Tempat, Ini 3 Rekomendasi ICW
Berita

Pemecatan PNS Tipikor Jalan di Tempat, Ini 3 Rekomendasi ICW

Lambatnya proses pemecatan menunjukkan ketiadaan komitmen dari Pejabat Pembinaan Kepegawaian (PPK) dari institusi di tingkat pusat dan daerah.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Indonesia Corruption Watch(ICW) mendesak Kemendagri untuk segera mengambil tiga langkah cepat terkait masalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terlibat kasus korupsi. Hal ini dinilai mendesak sebagai bagian dari menjaga marwah etika publik yang seharusnya dimiliki oleh lembaga eksekutif selaku pemberi pelayanan publik.

 

Adapun langkah-langkah yang perlu diambil Kemendagri yaitu; Pertama, segera menerbitkan Permendagri yang mengatur pemberian sanksi kepada PPK di tingkat pusat maupun daerah apabila belum memecat PNS terpidana korupsi hingga akhir April 2019. 

 

Kedua, pasca dikeluarkannya Permendagri tersebut, Kemendagri juga harus benar-benar memastikan bahwa peraturan yang ia keluarkan ditaati oleh seluruh PPK di tingkat pusat ataupun daerah. Ketiga, Kemendagri harus segera berkoordinasi dengan instansi Kementrian/Lembaga terkait dalam hal ini Kemenpan RB, BKN, dan juga KPK untuk segera mempercepat proses pemecatan PNS terpidana korupsi.

 

Ini sebagai upaya agar potensi kerugian negara akibat gaji yang terus dibayarkan kepada PNS terpidana korupsi tidak semakin membengkak,” tulis Egi Primayoha dari ICW dalam rilis yang diterima hukumonline, Jumat (12/4).

 

ICW menyebutkan, jumlah PNS yang telah divonis bersalah karena terbukti melakukan korupsi mencapai 2.357 orang. Per September 2018, 98 PNS terpidana korupsi tercatat bekerja di pemerintah pusat dan 2.259 PNS bekerja di pemerintah daerah. Per akhir Januari 2019, 1.466 belum dipecat dari statusnya sebagai PNS.

 

Lambatnya proses pemecatan menunjukkan ketiadaan komitmen dari Pejabat Pembinaan Kepegawaian (PPK) dari institusi di tingkat pusat dan daerah. Adapun PPK di tingkat pusat adalah menteri, kepala badan, dan instansi lain yang setara. Sedangkan di tingkat daerah PPK adalah Gubernur, Walikota, dan Bupati.

 

“PPK di semua tingkatan lalai menjalankan tanggungjawabnya sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku,” tambah Egi.

 

Tiga pelanggaran yang dilakukan PPK yaitu: Pertama, PPK tidak menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU Nomor 5 Tahun 2014) Pasal 87 ayat (4) huruf b yaitu. Kedua, PPK melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PP Nomor 11 Tahun 2017) Pasal 250 huruf b.

 

Ketiga, Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 182/6597/SJ; Nomor 15 Tahun 2018; Nomor 153/Kep/2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang Ada Hubungannya Dengan Jabatan butir Kedua huruf a dan butir Ketiga.

 

ICW menyatakan Kemendagri sebagai pihak yang memiliki kewenangan sebagaimana tercantum dalam pasal 373 UU No. 24 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, semestinya berperan aktif dalam merespons lambatnya PPK.

 

Dalam ketentuan tersebut dikatakan bahwa Mendagri memiliki kewenangan konstitusional dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah, termasuk dalam hal pemberian sanksi kepada kepala daerah. Apalagi Kemendagri turut menandatangani SKB tentang pemecatan PNS koruptor.

 

ICW mengutip satu pernyataan yang dilansir di laman media daring, di mana Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto mengatakan sedang merumuskan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) terkait proses pemecatan PNS Koruptor. Permendagri tersebut mengatur bahwa sekretaris daerah (Sekda) dapat dijatuhi sanksi hingga pemecatan jika tidak memecat PNS terpidana korupsi.

 

“Akan tetapi hingga saat ini keberadaan Permendagri tersebut tidak diketahui keberadaannya,” tambah Egi.

 

Sementara desakan publik melalui petisi change.org/pecatPNSkoruptor hingga 12 April 2019, telah mencapai lebih dari 779 ribu penanda tangan. Artinya, masyarakat menaruh perhatian besar karena kondisi ini sangat memperihatinkan, tentu akan berdampak pada potensi kerugian negara yang timbul menjadi semakin besar.

 

(Baca: Ribuan PNS Tipikor Berstatus Hukum Tetap Belum Dipecat)

 

Sebelumnya, pemerintah menyatakan baal memberikan sanksi tegas bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang tidak segera memberhentikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) terlibat tindak pidana korupsi (Tipikor) yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT).

 

Pemberian sanksi itu merupakan bagian dari kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan antara Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PANRB, Kemendagri, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Mahkamah Agung, dan Komsi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Jakarta, Selasa (29/1) lalu.

 

Kepala Biro Humas BKN Mohamad Ridwan mengemukakan, berdasarkan data BKN terhadap PNS terlibat Tipikor BHT per tanggal 29 Januari 2019 tercatat dari total 2.357 PNS Tipikor BHT 20,28% sudah dijatuhi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) atau sebanyak 478 PNS, dengan rincian 49 PNS Kementerian/Lembaga (K/L) dan 429 PNS daerah.

 

“Untuk mempercepatan proses PTDH terhadap PNS Tipikor oleh PPK instansi masing-masing, dalam waktu dekat akan diterbitkan edaran bersama tentang pemberian batas waktu tambahan bagi PPK untuk menerbitkan SK PTDH dan sanksi tegas bagi PPK yang tidak memberhentikan PNS Tipikor BHT,” jelas Moh Ridwan, dalam siaran persnya Kamis (31/1).

 

BKN sendiri mengapresiasi PPK yang telah memberhentikan 873 PNS Tipikor BHT di luar data ke-2.357 PNS tersebut, dengan rincian 75 PNS K/L dan 598 PNS daerah.

 

Sesuai Pasal 87 ayat (4b) Undang-Undang Nomo 5 Tahun 2014 tentang  Aparatur Sipil Negara (ASN) ditegaskan, bahwa PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum, termasuk tindakan pidana korupsi.

 

Tags:

Berita Terkait