Pemecatan 51 Pegawai KPK, Dinilai Bentuk Abai terhadap Putusan MK
Terbaru

Pemecatan 51 Pegawai KPK, Dinilai Bentuk Abai terhadap Putusan MK

​​​​​​​MK menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Perwakilan pegawai KPK melaporkan dugaan pelanggaran dalam seleksi tes wawasan kebangsaan ke Komnas HAM. Foto: RES
Perwakilan pegawai KPK melaporkan dugaan pelanggaran dalam seleksi tes wawasan kebangsaan ke Komnas HAM. Foto: RES

Pemberantasan korupsi berada pada titik nadir yang mengenaskan, setelah muncul keputusan memberhentikan 51 orang dari 75 pegawai yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Keputusan pemberhentian tersebut dianggap sebagai bentuk abai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait peralihan status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tak boleh merugikan pegawai KPK.

Anggota Komisi III Taufik Basari berpandangan semua pihak mulai presiden, kementerian pemberdayaan aparatur negara (Kemenpan-RB), Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan DPR serta publik mesti menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.70/PUU-XVII/2019 sebagai rujukan dalam pelaksanaan alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dengan begitu bila terjadi perbedaan pendapat dapat merujuk pada dokumen putusan pengadilan.

“Ini yang mestinya menjadi ciri negara hukum,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (27/5).

Lembaga negara yang berperan sebagai the guardian of constitution itu diketahui telah menjatuhkan putusan atas pengujian uji materil UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bagi Taufik, putusan MK mestinya dijadikan acuan bagi penyelenggara negara dalam mengambil kebijakan. Apalagi dalam pemberantasan korupsi dibutuhkan orang-orang yang memiliki komitmen dan integritas tinggi antikorupsi.

“Tak boleh ada yang meragukan atau mengesampingkan putusan MK ini. Kita harus menghormatinya dan menerimanya apapun hasilnya,” katanya.

Dalam putusan No. 70/PUU-VIII/2019 paragraf 3.22, MK telah memberikan pertimbangan hukumnya mengenai konstitusionalitas pasal 24 dan pasal 45A UU No. 19/2019 tentang perubahan UU KPK. Pertama, MK menyatakan alih status ASN terhadap pegawai KPK adalah konstitusional. Kedua, tak perlu ada kekhawatiran terkait syarat usia seperti yang didalilkan pemohon. Sebab  alih status tersebut berbeda dengan melamar sebagai ASN.

Menurutnya, MK menyatakan bagi pegawai KPK secara hukum menjadi ASN karena berlakunya UU No. 19/2019. Karena itulah diberikan waktu penyesuaian peralihan selama 2 tahun dan terdapat aturan peralihan dan ketentuan pelaksana teknis yang mengaturnya. Selain itu, MK menyatakan adanya peraturan pelaksana berupa peraturan KPK yang mengatur tentang mekanisme peralihan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK.

“MK menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut,” katanya.

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu berpendapat, merujuk dan berpedoman Putusan MK tersebut, mestinya BKN memaknai proses alih status pegawai KPK ini bukanlah seperti melamar sebagai ASN. Tetapi,  secara hukum otomatis menjadi ASN karena UU. Kendati dibenarkan MK adanya ketentuan pelaksana yang mengatur mekanisme demi kepastian hukum, tetapi tak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk menjadi ASN.

Bagi pria biasa Tobas itu, jalan tengah BKN dapat menyatakan alih status tetap berjalan seluruh pegawai yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi ASN dapat beralih sebagai ASN. Sementara hasil assesment TWK menjadi bahan evaluasi bagi negara dalam hal pembinaan, penempatan dan penugasan. Dia berharap polemik pemecatan 51 pegawai KPK mesti dicari solusi terbaik. Sebab bila terus dibiarkan bakal saling menjatuhkanmelontarkan isu dan rumor negatif.

“Maka yang rugi adalah upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Imbauan ini saya tujukan bagi semua pihak agar bisa mencari jalan keluar demi kebaikan bersama,” katanya.

Baca:

Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berpendapat pemberantasan korupsi menemui ajalnya. Terlebih sejak pimpinan KPK bersama BKN resmi mengumumkan nasib sejumlah pegawai pasca melewati TWK. Hasilnya, 51 pegawai KPK tetap dipaksa keluar dari KPK. Setidaknya terdapat 8 poin yang menjadi catatan. Pertama, sejumlah lembaga negara yang mengikuti proses pembahasan pemecatan 51 pegawai KPK telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebab, kata Kurnia, penyelenggaraan TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK sedari awal bersifat ilegal.  Terlebih, TWK diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021  tentang Tata Cara Perngalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Padahal, UU 19/2019  dan PP No 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi ASN tidak mengamanatkan metode seleksi dalam alih status kepegawaian KPK.

Kedua, keputusan mendepak  51 pegawai KPK secara terang benderang mengangkangi putusan MK No. 07/PUU-VIII/2019. Menurutnya bila, TWK dimaknai sebagai metode seleksi malah berdampak merugikan bagi pegawai KPK. Mestinya putusan MK dipahami bersifat final dan mengikat, serta tak perlu lagi ditafsirkan lain.

Ketiga, kebijakan Pimpinan KPK untuk memasukkan TWK dalam Peraturan KPK 1/2021 telah melanggar kode etik. Merujuk pada Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat banyak ketentuan yang saling bertentangan. Mulai poin integritas, sinergi, keadilan, profesionalisme, dan kepemimpinan.

“Berlandaskan pada pelanggaran itu, maka beberapa waktu lalu sejumlah pegawai KPK melaporkan seluruh Pimpinan KPK ke Dewan Pengawas,” ujarnya.

Keempat, konsep TWK terlihat ahistoris dengan kondisi sebenarnya. Kelima, pernyataaan pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya pembangkangan atas perintah Presiden Joko Widodo. Sebab, beberapa waktu lalu presiden telah menegaskan bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK. Namun, faktanya dua lembaga itu malah menganggap pernyataan Presiden sebagai angin lalu semata.

Merujuk Pasal 25 ayat (1) UU No.5 Tahun 2014  menyebutkan, “Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN”. Apalagi sejak KPK masuk dalam rumpun eksekutif, tak ada alasan bagi dua  lembaga tersebut menerbitkan kebijakan adminsitratif yang bertolak belakang dengan pernyataan presiden.

Keenam, keputusan memberhentikan 51 pegawai KPK terkesan terburu-buru tanpa didahului dengan melakukan mekanisme evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan TWK.  Ketujuh, patut diduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan Pimpinan KPK untuk memberhentikan pegawai-pegawai KPK. Indikasi ini menguat tatkala para pendengung (buzzer) memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak yang mengkritisi TWK.

“Namun, isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak pernah bisa menunjukkan bukti konkret, misalnya tuduhan taliban dan radikalisme di KPK,” pungkasnya.

Lapor ke presiden

Wakil Ketua KPK  Nurul Ghufron mengatakan bakal melapor ke Presiden Joko Widodo soal keputusan final terkait nasib 75 pegawai yang tak lolos TWK. Menurutnya Presiden Jokowi telah memberi arahan, termasuk berdiskusi dengan para pembantu presiden. “Meski begitu setelah selesai ini semua kami pada saarnya akan melaporkan ke presiden,” ujarnya sebagiamana dikutip dari laman Antara.

KPK telah menggelar rapat koordinasi membahas nasib 75 pegawai yang tak lulus TWK dengan BKN, Kemenpan-RB, Kemenkumham, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Lembaga Adminsitrasi Negara (LAN) serta sejumlah asesor dalam TWK. Hasilnya memutuskan 24 dari 75 pegawai masih dimungkinkan dibina sebelum diangkat menjadi ASN.

Sementara 51 pegawai lainnya tak memungkinkan dibina berdasarkan penilaian asesor. Kenddati begitu, 51 pegawai itu masih berada di KPK hingga November 2021, kendati statusnya non aktif dan berujung pemberhentian. Ia mengklaim tidak melihat nama-nama ke-75 pegawai itu dan berupaya mengatrol indikator.

“Harapannya 75 itu bisa kembali jadi ASN semua, itu yang kami perjuangkan tapi setelah dibuka ada beberapa 'item' ada yang merah, kuning, hijau, yang kuning dan hijau jadi 24 ada yang bisa dibina,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait