Pembuktian Terbalik Berlaku Jika Predicate Crime Bisa Dibuktikan
Berita

Pembuktian Terbalik Berlaku Jika Predicate Crime Bisa Dibuktikan

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang terus menambah jumlah predicate crime.

Rfq
Bacaan 2 Menit
Pembuktian terbalik Bahasyim bersikukuh uang yang dia terima dari <br> saksi KM bukan gratifikasi. Foto: Sgp
Pembuktian terbalik Bahasyim bersikukuh uang yang dia terima dari <br> saksi KM bukan gratifikasi. Foto: Sgp

Dalam perkara pidana, beban pembuktian ada di tangan jaksa. Adalah jaksa yang berkewajiban membuktikan tuduhan yang dimuat dalam surat dakwaan. Demikian pula halnya dalam tindak pidana pencucian uang. Menjadi kewajiban jaksa untuk membuktikan kejahatan asal (predicate crime) sebelum menuduh terdakwa melakukan pidana pencucian uang.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Dian Adriawan, berpendapat pembuktian terbalik yang diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dapat diberlakukan setelah jaksa bisa membuktikan kejahatan asal usul harta kekayaan. Jika jaksa tak bisa membuktikan, majelis dapat membebaskan terdakwa.

 

“Apabila jaksa tidak bisa membuktikan predicate crime maka dakwaan tidak terbukti dan beban pembuktian terbalik tidak bisa ke terdakwa dan hakim harus membebaskan. Kalau jaksa bisa membuktikan, baru pembuktian terbalik dberlakukan ke terdakwa,” tegas Dian.

 

Pandangan itu disampaikan Dian saat tampil sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus pencucian uang  di PN Jakarta Selatan, Selasa (14/12). Dian dihadirkan sebagai ahli oleh terdakwa Bahasyim Assyifie

 

Menurut Dian, pada level penyidikan pidana pencucian uang (money laundering) tidak perlu dibuktikan. Namun jika perkara masuk ke pengadilan, beban penuntut umum untuk membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu. “Harus ada lebih dahulu kejahatan asal. Bagaimana ada money laundering kalau tidak ada tindak pidana asal,” tegasnya.

 

Pasal 35 UU Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan “untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Rumusan ini memang tidak menyebutkan secara gamblang bagaimana prosedur pembuktian terbalik diberlakukan. Namun setidaknya, jelas Dian, penuntut umum lah sebagai pihak pertama yang membuktikan terlebih dahulu tindak pidana awal sebelum melangkah ke tindak pidana pencucian uang.

 

Dalam kasus Bahasyim, uang yang diperkarakan oleh penuntut umum hanya satu miliar rupiah yang diduga atas pemerasan yang dilakukan oleh terdakwa. Namun nampaknya penuntut umum belum dapat membuktikan uang ratusan miliar sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan. Dian Adriawan berpandangan jika yang menjadi obyek perkara adalah satu miliar rupiah, maka asal muasal ratusan miliar itulah yang perlu dipertanyakan.

 

Sebaliknya, jika tidak dapat dibuktikan asal muasal ratusan miliar milik terdakwa, pengadilan mesti mengembalikan perkara ke penyidik dan membuka blokir. Setidaknya, penyitaan dibuka agar dikembalikan kepada pemilik. “Kalau tidak bisa dibuktikan asal harta itu, ya harus dikembalikan. Kalau bukan hasil kejahatan ya harus dikembalikan dan dibuka blokirnya. Kalau tindak pidana satu miliar rupiah dan masih ada selisih ya harus dikembalikan kalau tidak bisa dibbuktikan,” ujarnya.

 

Kalau tidak bisa dibuktikan? Menurut ahli, sepanjang tidak dapat dibuktikan predicate crime atas dugaan perkara, sisa uang yang miliaran rupiah di luar uang satu miliar belum dapat dikategorikan money laundering. Kejahatan asal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang terus bertambah. Pada Undang-Undang tahun 2002 ada 15 kejahatan asal. Pada perubahan pertama (UU No. 25 Tahun 2003), kategori kejahatan asal bertambah menjadi 25. Jumlahnya bertambah satu lagi dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010.


Dalam pandangan Dian, dakwaan kumulatif membuat jaksa secara teknis lebih bisa membuktikan perbuatan terdakwa. Sebab, dalam surat dakwaan penuntut umum hanya memperkarakan uang sebesar satu miliar rupiah dari saksi KM. Jika dapat membuktikan uang satu miliar rupiah akibat gratifikasi, penuntut umum mesti dapat membuktikan uang yang ratusan miliar rupiah lainnya.

 

Menanggapi keterangan ahli, Bahasyim bersikukuh uang yang dia terima dari saksi KM bukan gratifikasi. Uang satu miliar itu dia terima sebagai sesama almamater Universitas Indonesia. Untuk membuktikan itu gratifikasi atau bukan, jaksa seharusnya menghadirkan KM ke persidangan. Namun KM tak kunjung berhasil didatangkan. “Realitasnya saya tidak bisa berhadapan dengan beliau, dari sepihak saya itu hanya hubungan akademisi dan tidak ada hubungan dengan pekerjaan saya. Apakah ini bisa dibilang gratifikasi?

 

Dalam kasus yang diduga gratifikasi, ujar Dian Adriawan, mesti ada pemberi suap aktif dan penerima suap pasif.  Jika terdapat penerima suap, tuntutan dapat diajukan kepada pemberi suap aktif. Dengan kata lain, pemberi dan penerima suap dapat dijerat. “Kalau terkait gratifikasi ada berhubungan dengan jabatan dan itu bertentangan dengan jabatan harus ada unsur pidananya,” ujarnya.

Tags: