Pemberitaan Media tentang Caleg Perempuan Minim
Utama

Pemberitaan Media tentang Caleg Perempuan Minim

Opini masyarakat terhadap caleg perempuan harus diubah, sehingga perannya memiliki tempat yang setara dengan caleg laki-laki.

ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Diskusi  bertajuk
Diskusi bertajuk "Menyoal Perspektif Perempuan dan Media dalam Pemilu 2014", di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (28/3). Foto: RES
Peran media dalam memberikan informasi kepada masyarakat terkait calon legislatif (caleg) perempuan yang akan maju ke parlemen sangat signifikan. Media seharusnya menggali dan mengangkat sisi kerja caleg ke daerah pemilihan. Hal ini dikatakan Redaktur Eksekutif Sinar Harapan Fransisca dalam sebuah diskusi  bertajuk ‘Menyoal Perspektif Perempuan dan Media Dalam Pemilu 2014’ di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (28/3).

Fransisca mengatakan, berdasarkan hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kondisi media pada periode pemilu 2009 tak jauh berbeda dengan kondisi media saat ini. Pemberitaan pemilu tentang caleg perempuan terbilang jarang. Maka dari itu, ia berpendapat hasil riset AJI dengan kondisi pemberitaan caleg di 2014 masih berkolerasi.

Selain itu, media cenderung memberitakan caleg perempuan bukan pada sisi bagaimana mereka bekerja untuk konstituennya. “Misalnya isu kekerasan anak, kekerasan terhadap perempuan. Dan yang perlu dilakukan media adalah mengangkat mereka dan menangkap kecepatan isu perempuan,” ujarnya.

Lebih jauh Fransisca berpendapat, masyarakat diharapkan dapat memilih caleg perempuan yang berkualitas. Pasalnya, masih terdapat caleg perempuan yang tidak memiliki kemampuan mumpuni terjun ke parlemen. Apalagi, keterwakilan perempuan dalam parlemen mendapat kuota 30 persen. 

Menurutnya, menjadi riskan ketika duduk menjadi anggota dewan, sementara tidak memahami tugas dan fungsi parlemen. Ini pula menjadi pekerjaan rumah partai politik untuk mengkaderisasi sebelum terjun ke parlemen. “Caleg perempuan yang tidak berkualitas, kemudian banyak yang mengeluhkan partai tidak mampu mengkader,” ujarnya.

Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menambahkan minimnya kualitas caleg perempuan merupakan realitas. Ia menuturkan, keterwakilan perempuan di parlemen menjadi perjuangan panjang hingga diamanatkan dalam perundangan menjadi 30 persen.

“Walaupun 30 persen ini masih setengah hati,” ujarnya.

Mike mengatakan, koalisinya terus melakukan pemantauan terhadap keterwakilan perempuan dalam berpolitik di parlemen. Menurutnya, kemampun dan kredibilitas caleg perempuan belum sesuai yang diharapkan. Meski demikian, ia mengakui ada anggota legislatif perempuan periode 2009-20014 yang cukup vokal. Misalnya, Rieke Dyah Pitaloka dan Nurul Arifin –keduanya mantan aktris-.

“Ini bagaimana caranya supaya Caleg perempuan menarik dan direspon media. Perempuan di daerah memang awam politik itu tidak bisa disanggah, tapi juga sudah mulai yang paham isu,” katanya.

Sejauh ini, KPI menemui hambatan dalam meningkatkan kualitas caleg perempuan. Terlebih, akses mendapatkan caleg perempuan berkualitas minim. Lebih jauh, Mike menuturkan opini masyarakat terhadap caleg perempuan haruslah diubah, sehingga peran Caleg perempuan di mata masyarakat memiliki tempat yang setara dengan Caleg laki-laki.

“Stigma masyarakat terhadap perempuan harusnya diubah,” katanya.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Lia Wulandari, menambahkan pemberitaan yang muncul di media terbilang negatif. Misalnya, korupsi yang menyeret sejumlah politisi perempuan yang kemudian berdampak pada Caleg perempuan. Menurutnya, hal tersebut tak dapat dibenarkan.

“Saya melihat lebih banyak pemberitaan negatif terhadap perempuan dan membentuk opini masyarakat yang negatif,” ujarnya.

Dia berpendapat, Caleg perempuan yang maju pada perhelatan pesta demokrasi memiliki latarbelakang berbeda mulai dinasti, tokoh, hingga selebritis. Menurut Lia, media seharusnya lebih mengangkat sisi Caleg perempuan yang bekerja untuk konstituen di Dapilnya. Misalnya, dengan mengangkat isu hak asasi manusia, isu kekerasan terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap anak.

“Media sangat berperan mengangkat caleg perempuan yang positif dan memiliki komunikasi politik yang baik,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait