Pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto Upaya Sistematis Mengendalikan Mahkamah
Terbaru

Pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto Upaya Sistematis Mengendalikan Mahkamah

Ada tujuh catatan. Mulai DPR keliru menafsirkan surat dari Ketua MK, menabrak ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, ahistoris dengan produk UU yang dihasilkan sendiri, hingga berkaitan dengan kontestasi politik 2024 mendatang.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Hakim konstitusi Aswanto. Foto: Laptah MK.
Hakim konstitusi Aswanto. Foto: Laptah MK.

Langkah DPR mencopot Hakim Konstitusi Prof Aswanto dinilai bentuk intervensi politik dan kesewenang-wenangan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, tindakan Komisi III DPR itu dinilai mendegradasi independensi kekuasaan kehakiman.

“Langkah DPR terhadap MK ini semakin memperlihatkan sikap otoritarianisme dan pembangkangan hukum,” ujar peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan melalui keterangannya, Selasa (4/10/2022).

Ia melihat dari pola yang dilakukan DPR, setidaknya terdapat enam poin kekeliruan saat merombak komposisi hakim konstitusi. Pertama, lembaga legislatif keliru menafsirkan surat dari Ketua MK. Menurutnya, surat yang dilayangkan Ketua MK kepada Ketua DPR yang substansinya terbatas pada konfirmasi pemberitahuan dampak Putusan MK Nomor 96/PUU-XIII/2020.

Putusan MK tersebut mengubah periodeisasi jabatan hakim MK. Artinya, tidak lagi merujuk pada siklus lima tahunan, tapi merujuk pada pembatasan usia pensiun hakim konstitusi (70 tahun). Alih-alih memahami surat itu, DPR malah berakrobat dengan memanfaatkan surat itu sebagai dasar memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto.  

Baca Juga:

Kedua, DPR menabrak ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menjamin eksistensi kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman. Bagi Kurnia, pemaknaan kemerdekaan mesti ditafsirkan terbebas dari kepentingan politik dari seluruh cabang kekuasaan dari eksekutif maupun legislatif.

“Dengan praktik kesewenang-wenangan DPR, maka terbilang jelas bahwa UUD 1945 tidak lagi dijadikan acuan dalam mengambil suatu tindakan,” kata dia.

Ketiga, keputusan DPR memberhentikan Aswanto menunjukkan lembaga legislatif itu ahistoris dengan produk UU yang dihasilkan sendiri. Sebab, mekanisme ganjil itu jelas bertolak belakang dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam hal regulasi secara materil, Aswanto sejatinya tidak sedang diberhentikan dengan atau tidak hormat. Sebab, tanpa melalui mekanisme yang benar atau prosesnya bermasalah yakni pengiriman surat dari Ketua MK kepada Presiden untuk selanjutnya diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian hakim konstitusi. 

Keempat, keputusan DPR memberhentikan Aswanto kental dengan nuansa politik terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Sebab, mengacu pada pernyataan Ketua Komisi III DPR RI sekaligus politisi asal PDIP, Bambang Wuryanto, alasan pemberhentian Aswanto lantaran hakim konstitusi itu menganulir UU yang dikerjakan oleh DPR. Dampaknya, Aswanto yang notabene hakim konstitusi usulan lembaga legislatif diberhentikan. Baginya, logika tersebut tidaklah jelas dan menyesatkan. “Dan ini memperlihatkan sikap kekanakan-kanakan.”

Kurnia menerangkan mengacu Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara gamblang menyebutkan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Oleh karenanya, tidak ada kewajiban hakim konstitusi menuruti atau membenarkan semua produk peraturan perundang-undangan yang diinisiasi oleh pemerintah atau DPR.

Lagipula, UU No.11 Tahun 2020 dan revisi UU No.20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang Cipta Kerja, hingga revisi ketiga UU 24/2003 tentang MK yang digarap DPR dan pemerintah memang menuai banyak persoalan.  Selain itu, anggapan Ketua Komisi III Bambang Wuryanto Soal Aswanto perwakilan DPR di MK pun keliru. Sebab, menilik Pasal 18 ayat (1) UU MK mengatur keberadaan DPR dalam pemilihan hakim konstitusi sebatas mengajukan, bukan berasal dari anggota DPR. “Jadi pemikiran Bambang itu mestinya diabaikan saja.”

Kelima, dasar pemikiran legislatif saat memberhentikan Aswanto bermuatan konflik kepentingan. Bahkan seolah ingin menundukkan atau mengendalikan MK. Menurutnya, alasan yang menyebut Aswanto menganulir produk legislasi DPR menandakan Ketua Komisi III memiliki kepentingan dalam proses pemilihan hakim konstitusi

Keenam, praktik pembangkangan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tampak dilakukan DPR menjadi preseden buruk terhadap masa depan MK. Menurutnya, langkah lembaga legislatif boleh jadi berpotensi bakal ditiru cabang kekuasaan lainnya yang menjadi pengusul hakim konstitusi, seperti presiden dan Mahkamah Agung.

“Kalau sudah seperti ini, MK hanya akan menjadi lembaga yang memenuhi kepentingan politik penguasa. Akibat terburuknya, legislasi-legislasi bermasalah yang kerap diinisiasi oleh pemerintah maupun DPR akan mendapatkan cap legitimasi oleh MK,” katanya.

Ketujuh, langkah DPR memberhentikan masa jabatan hakim konstitusi di tengah masa jabatannya belum rampung dapat dikaitkan dengan kontestasi politik 2024 mendatang. Sebab, bukan tidak mungkin menjadi siasat partai tertentu dalam mengamankan konsolidasi politiknya. Terutama dalam kaitan dengan produk legislasi atau bahkan kewenangan MK lain seperti memutus perselisihan hasil pemilihan umum. 

“ICW mendesak agar Presiden Joko Widodo menolak mengeluarkan Keppres pemberhentian hakim konstitusi dan pengangkatan sebagaimana yang telah diusulkan oleh DPR,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, Hakim Konstitusi Aswanto merupakan usulan dari DPR. Namun secara mendadak, Aswanto diberhentikan dari jabatannya dengan terlebih dahulu Komisi III menggelar uji kepatutan terhadap Guntur Hamzah yang notabene Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK. Hasilnya, Guntur Hamzah ditetapkan Komisi III menjadi pengganti Aswanto. Keputusan tersebut diboyong dalam rapat paripurna pada Kamis (29/9/2022) pekan lalu

Tags:

Berita Terkait