Pembentukan UU Ibu Kota Negara Dinilai Belum Penuhi Partisipasi Bermakna
Terbaru

Pembentukan UU Ibu Kota Negara Dinilai Belum Penuhi Partisipasi Bermakna

Dalam Putusan MK 91/2020 memuat 3 syarat yang harus dipenuhi untuk mengukur partisipasi bermakna dalam pembentukan UU. Yakni terpenuhinya hak untuk didengarkan pendapat, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

CR-28
Bacaan 4 Menit
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam IG Live Hukumonline bertajuk 'Polemik Pengesahan UU Ibu Kota Negara', Kamis (3/2/2022). Foto: CR-28
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam IG Live Hukumonline bertajuk 'Polemik Pengesahan UU Ibu Kota Negara', Kamis (3/2/2022). Foto: CR-28

Cepatnya proses pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) dalam rapat paripurna, Selasa (18/1/2022) lalu, kembali menimbulkan kritikan dari sejumlah elemen masyarakat. Bahkan, sejumlah warga negara sudah mendaftarkan pengujian UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (2/2/2022) kemarin. Alasannya, pengesahan UU IKN itu dinilai cacat formil karena tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan.     

“Ini isu penting, bukan hanya karena IKN itu sendiri, tetapi juga proses legislasinya. Proses legislasi lagi-lagi dikecilkan. Padahal yang namanya legislasi bukan dokumen sembarangan. Kita bicara UU, bukan dokumen biasa, gak boleh selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya seperti yang tengah dialami,” ujar Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam IG Live Hukumonline bertajuk “Polemik Pengesahan UU Ibu Kota Negara”, Kamis (3/2/2022).

Dia melanjutkan selain memperhatikan proses pembentukan UU, isi UU IKN sepatutnya juga sesuai konstitusi karena dokumen tersebut akan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Jika tidak diperhatikan baik-baik, potensi terjadi kekacauan hukum yang sebelumnya terjadi dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, bakal kembali mencuat.

(Baca Juga: Mempersoalkan Konstitusionalitas Otorita Ibu Kota Nusantara dalam UU IKN)  

Bivitri menilai proses pembentukan UU IKN sangat tidak sesuai. Misalnya, kalau bicara proses yang selama ini dipersoalkan, didiskusikan, dan diputuskan yang terbaru pada UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional walaupun bersyarat. "Penggunaan kata 'in' sudah menandakan MK sebenarnya sudah memberi panduan kepada pembentuk UU terkait proses yang seharusnya dilakukan,” ujarnya.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu melihat partisipasi masyarakat belum terpenuhi dalam proses pembentukan UU IKN. Meski dari dokumentasi yang didapat, salah satunya dengar pendapat umum (DPU) dengan 26 ahli pada tanggal 8-12 Desember 2021. Akan tetapi, dia menyatakan 26 ahli tersebut tidak berarti menandakan adanya partisipasi masyarakat.

“Karena MK sudah bilang dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja bahwa perlu adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation),” ujarnya mengingatkan.

Tepatnya, pada halaman 393 Putusan No.91/PUU-XVIII/2020 itu termuat 3 syarat yang harus dipenuhi agar tercipta partisipasi yang bermakna. Pertama, terpenuhinya hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

"Ahli itu bukan orang-orang yang sesungguhnya akan terkena dampak. Berapa puluh ahli pun boleh diundang, tapi pertanyaannya apakah orang-orang di Penajam Paser Utara itu benar-benar didengar, diberi penjelasan, kemudian dipertimbangkan pendapatnya? Dari dokumentasi yang ada, bahkan dari kawan-kawan saya dari Kalimantan Timur sudah bercerita di forum khusus, itu tidak dipenuhi,” bebernya.

Dia mengaku sempat berdialog dengan Ketua Pansus yang menyampaikan bahwa telah diadakan 3 konsultasi publik di 3 kampus. Tepatnya, di Universitas Sumatera Utara (USU) di wilayah Barat; Universitas Mulawarman di wilayah tengah; dan Universitas Hasanuddin di wilayah timur. “Tapi apakah diskusi di kampus sama dengan partisipasi masyarakat yang akan terkena dampak? Menurut saya tidak. Inilah kecenderungan yang terjadi belakang ini, dimana para ahli dan kampus-kampus dijadikan semacam ‘stempel’ (justifikasi, red) untuk membuat kebijakan,” kritiknya.

Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pun sudah mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan aturan. Namun, yang terjadi partisipasi masyarakat hanya sekedar dijadikan semacam “daftar belanja” yang cukup dicontreng jika telah terlaksana. Misalnya, telah dilakukan konsultasi publik di 3 kampus, mengundang 26 ahli yang jelas tidak diragukan keahlian mereka.

“Dalam UU 12/2011 pun ada asas-asas peraturan perundang-undangan, misalnya kesesuaian materi muatannya, dan lain-lain. Itu kalau kita cermati secara mendalam, cukup banyak yang dilanggar. Menurut saya wajar ya, karena itu tadi waktunya terlalu sedikit, tertutup, kurang partisipatif, biasanya ada implikasi terhadap materi muatan yang belum baik.”

(Baca Juga: Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan UU Menurut Pandangan MK)

Dirinya tak mengelak adanya studi pemindahan ibu kota negara yang telah dilakukan Bappenas secara serius. Namun dipertanyakan bagaimana hasil studi tersebut telah diperbincangkan secara luas ke publik baik warga Penajam Paser Utara maupun seluruh warga Indonesia.

“Kita juga tahu di Penajam Paser Utara itu cukup banyak masyarakat adat, apakah mereka pernah diajak berdialog? Dijelaskan misalnya apa implikasi dari pemindahan ibu kota itu terhadap masyarakat adat yang sudah tinggal di sana sejak sebelum kemerdekaan. Bagaimana implikasinya terhadap tanah-tanah mereka? Jika ada masa transisi, bagaimana akomodasi mereka selama itu? Apakah selama 4 tahun ini dengan studi-studi yang hebat itu, sudah diperbincangkan dengan masyarakat di sana?”

Dari dialog dengan rekan-rekannya di Kalimantan Timur, tidak diadakan dialog seperti itu. “Perencanaannya secara teknokratik dilakukan, studi ada, tetapi apakah perencanaan itu juga melibatkan masyarakat luas yang terkena dampak ataupun kita semua. Karena yang terkena dampak bukan hanya masyarakat di Kalimantan Timur, tetapi orang di DKI Jakarta juga akan terkena dampak. Apakah sudah dibicarakan? Ternyata itu belum dilakukan,” bebernya.

Dengan begitu, menurutnya proses pembentukan UU IKN belum betul-betul mengakomodir partisipasi masyarakat yang bermakna. "Menurut saya sih ini (UU IKN) cacat formil dan sangat disayangkan. Kita kan punya harapan besar, termasuk saya sendiri. Waktu ada uji formil UU Cipta Kerja, ada harapan putusan MK itu akan diperhatikan agar DPR dan pemerintah bisa belajar dari kesalahan yang terjadi. Tetapi itu ternyata sama sekali tidak dipedulikan.”

Tags:

Berita Terkait