Pembentuk UU Sepakat Bakal Mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Utama

Pembentuk UU Sepakat Bakal Mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Memuat 9 bab dengan 19 pasal yang penyusunannya menggunakan metode omnibus law, sehingga ada sejumlah pasal dalam beberapa UU terkait pepajakan yang diubah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Untuk kedua kalinya Pemerintah menerapkan metode omninbus law dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU). Kali ini, pemerintah sebagai pengusul Revisi UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menyusun dan membuat rancangan aturan tersebut menggunakan metode omnibus law.

Dalam hitungan bulan bersama DPR, RUU tersebut pembahasannya telah rampung di tingkat pertama. Dapat dikatakan, Pemerintah dan DPR, pembahasannya marathon hingga rampung dan disetujui di tingkat pertama di penghujung September 2021 lalu. Menariknya, RUU tersebut judulnya pun diubah menjadi Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).

“RUU HPP ini berjumlah 9 bab dan jumlah pasal yang disepakati dalam RUU sebanyak 19 pasal,” ujar Wakil Ketua Komisi X, Dolfie O.F.P kepada wartawan Jumat (1/10/2021) kemarin.

Alasan diubahnya judul RUU KUP menjadi RUU HPP disebabnya ada sejumlah substansi yang diubah. Teknis penyusunnanya menggunakan metode omnibus law sebagaimana digunakan dalam pembuatan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Karena itu, dalam RUU HPP setidaknya mengubah sejumlah UU yakni UU No.6 Tahun 1983, UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

Kemudian UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah; UU No.39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai. Selanjutnya, UU No.2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang  Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Pemerintah sepakat dengan pandangan DPR yang menghendaki RUU tersebut diboyong ke rapat paripurna dalam pengambilan keputusan tingkat kedua. Pemerintah, kata Sri Mulyani, mengapresiasi DPR dan seluruh pihak yang membantu jalannya proses pembahasan RUU ini secara baik.

Dia menilai RUU HPP menjadi bagian dalam reformasi struktural di bidang perpajakan. Selain itu, RUU tersebut bertujuan mendukung cita-cita Indonesia Maju yakni Indonesia yang ekonomi untuk tetap maju dan berkelanjutan, dengan pemerataan dan inklusivitas, serta didukung oleh sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif.

“RUU ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang reformasi perpajakan yang telah dan sedang dilakukan selama ini baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan, dan akan menjadi batu pijakan yang penting bagi proses reformasi selanjutnya,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya.

Sri Mulyani yakin keberadaan RUU HPP hadir di saat yang tepat. Setidaknya membuktikan Indonesia mampu menggunakan sebuah krisis menjadi momentum reformasi struktural. Menurutnya, pandemi menjadi fenomena extraordinary menimbulkan tekanan yang luar biasa bagi masyarakat luas. Dampaknya, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) harus hadir dalam mengurangi tekanan ekonomi terhadap masyarakat.

Eks Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono jilid I itu menjelaskan, RUU HPP dibentuk dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan perekonomian berkelanjutan. Kemudian insklusif, dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian serta mengoptimalkan penerimaan negara dalam membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Selain itu, RUU HHP bertujuan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Dan melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan. Dia berharap RUU HHP bakal terus meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

Pemerintah yakin, kata Sri Mulyani, RUU tersebut dapat mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum yakni setelah disepakatinya beberapa rancangan aturan. Seperti pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas putusan Mutual Agreement Procedure (MAP). Kemudian pengaturan kembali besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta penyempurnaan beberapa ketentuan di bidang penegakan hukum perpajakan.

Dia melanjutkan RUU HPP bakal memperkuat reformasi administrasi perpajakan yang berjalan melalui implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak orang pribadi. Kemudian memperkuat posisi Indonesia dalam kerja sama internasional, dan memperkenalkan ketentuan mengenai tarif PPN final.

Selain itu, perluasan basis pajak menjadi faktor penentu mengoptimalisasi penerimaan pajak. Bahkan bakal diwujudkan melalui pengaturan kembali tarif PPh orang pribadi dan badan, penunjukan pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak. Selanjutnya, pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN, implementasi pajak karbon dan perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai.

“Implementasi berbagai ketentuan yang termuat dalam RUU tersebut diharapkan akan berperan dalam mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi dan mewujudkan perekonomian yang berkelanjutan,” katanya.

Untuk diketahui, setelah disepakati di tingkat pertama antara Komisi XI dan Pemerintah, RUU HPP rencananya bakal diboyong dalam rapat paripurna terdekat. RUU HPP menjadi harapan pemerintah dalam mendongkrak pendapatan negara melalui sektor perpajakan sebagai bagian dalam pemulihan ekonomi nasional.

Tags:

Berita Terkait